PLTU Batu Bara di Celukan Bawang, Bali, Indonesia (Greenpeace Indonesia)
International Energy Agency (IEA) mendeklarasikan 2024 sebagai The Age of Electricity–era ketika sektor listrik mendominasi permintaan energi dunia.
Dari kencangnya suplai listrik ini, energi terbarukan memimpin penambahan pembangkit listrik dan mampu memenuhi tingginya permintaan global dengan cepat. Kapasitas pembangkit listrik tenaga surya tumbuh hingga 1.100 Gigawatt (GW) per tahun atau hampir tiga kali lipat dibanding 2023.
Sayangnya, di tengah tren positif transisi energi, pemerintah Indonesia justru ‘melawan arus’ alias masih gemar mempromosikan energi fosil seperti batu bara. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bahkan tanpa malu-malu meyakinkan investor bahwa sektor batu bara masih berpeluang cuan setidaknya sampai satu dekade ke depan.
Bahlil juga memastikan PLTU batu bara masih akan menjadi penopang utama kelistrikan yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034. Sampai sekarang, RUPTL pun belum diterbitkan juga meski sudah melampaui tenggat. Langkah ini menunjukkan komitmen setengah hati pemerintah untuk mencapai target mengurangi emisi hingga 43% pada 2030 dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Mesranya Indonesia dengan batu bara
Ketergantungan Indonesia pada batu bara ditampilkan dalam potret kapasitas PLTU captive yang melonjak tajam pada 2024. Ketika jumlah PLTU yang diusulkan merosot tajam, total PLTU yang beroperasi justru melaju pesat.
Riset Global Energy Monitor (GEM) mengungkapkan PLTU captive menyumbang lebih dari 80% dari tambahan kapasitas baru sebesar 1,9 GW di Indonesia. Selain itu, tambahan kapasitas batu bara sebesar 1,1 GW mulai dibangun pada 2024, dan seluruhnya untuk penggunaan captive.
(Infografis: Irene Meriska Esterlita)
Padahal, pemerintah Indonesia sempat memberikan sinyal positif komitmen menutup PLTU lewat Peraturan Presiden 112/2022. Aturan ini dirancang untuk menghentikan pembangunan PLTU baru setelah 2022 dan menetapkan target penghentian batu bara nasional pada 2050. Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 berkapasitas 650 MW juga telah diteken lewat Peraturan Menteri ESDM 10/2025.
Sayangnya, masih ada pengecualian terhadap PLTU captive diberikan dengan alasan mendukung kegiatan strategis nasional dan industri “bernilai tambah”.
Pembangunan PLTU captive satu tahun terakhir berpusat pada industri nikel yang mencapai 76% dari total kapasitas. Tidak berhenti di sini, angka-angka ini masih akan terus bertumbuh hingga 2026 mendatang.
Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional terbaru juga secara tegas tidak mengakomodasi pensiun dini PLTU dan memilih strategi pengurangan kontribusi batu bara secara bertahap (phase down). Pensiun dini baru akan dilakukan jika “tersedia bantuan internasional, tidak menaikkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik, dan tidak mengganggu keandalan sistem tenaga listrik.”
(Infografis: Irene Meriska Esterlita)
Rumput hijau tetangga
Dibandingkan dengan sesama negara Asia Tenggara, laju transisi energi Indonesia sangat lambat. Terbukti dengan komitmen seluruh negara tetangga yang tidak memiliki tambahan PLTU batu bara sama sekali dalam rentang setahun. Sejak 2016, jumlah proyek PLTU yang dihentikan sukses melampaui proposal PLTU baru setiap tahunnya di seluruh negara Asia Tenggara, kecuali Indonesia.
Secara global, Inggris sudah menutup pembangkit listrik batu bara terakhir dan menjadi negara G7 pertama yang menghentikan penggunaan batu bara sejak Perjanjian Paris 2015. Uni Eropa (EU) juga menghentikan penggunaan batu bara empat kali lipat lebih banyak dibanding 2023. Kapasitas yang dihentikan berlipat dari 2,3 GW menjadi 11 GW, dengan Jerman menjadi penyumbang terbesar (6,7 GW).
Setidaknya 60 negara telah mengurangi rencana pembangunan PLTU batu bara sejak Perjanjian Paris. Negara-negara pengguna batu bara terbesar di dunia seperti Turki, Vietnam, dan Jepang memangkas hingga 98% jaringan PLTU batu bara mereka.
Lebih ambisius lagi, 35 negara juga 100% menghilangkan rencana pembangunan PLTU batu bara dalam satu dekade terakhir seperti Korea Selatan dan Jerman. Meski termasuk dalam 10 besar konsumen batu bara dunia, pemerintah Jerman berkomitmen menghentikan penggunaan batu bara pada akhir 2030-an.
Sekawan melawan arus transisi energi
Tidak hanya Indonesia, beberapa negara besar juga melawan arus transisi energi dunia. Amerika Serikat misalnya ‘hanya’ menghentikan PLTU batu bara dengan kapasitas 4,7 GW atau level terendah sejak 2015.
Beberapa perusahaan listrik seperti PacifiCorp, Duke Energy, dan Georgia Power menunda–bahkan membatalkan rencana pensiun dini PLTU batu bara. Padahal rencananya hampir setengah dari kapasitas PLTU yang tersisa di AS akan dihentikan pada 2035. Di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, pemerintah AS semakin enggan untuk menutup PLTU mereka.
Selain itu, GEM juga menyebutkan ada sepuluh negara yang berkontribusi terhadap 96% pertumbuhan PLTU batu bara sepanjang 2024. Selain Indonesia, negara lainnya adalah China, India,, Bangladesh, Russia, Zimbabwe, Kazakhstan, Vietnam, Laos, dan Filipina.
(Infografis: Irene Meriska Esterlita)
Kawan baik batu bara Indonesia
Produksi tahunan batu bara di Indonesia semakin meningkat tajam. Kementerian ESDM mencatat rekor produksi sebesar 836 juta ton atau 17% lebih besar dari target tahun 2024.
Selaras dengan meningkatnya produksi, konsumsi batu bara dalam negeri juga meningkat menjadi 232 juta ton atau 128% dari target. Sementara sisanya (melebihi 50%) produksi batu bara diekspor untuk memenuhi permintaan Cina dan negara Asia Tenggara lain.
Bahkan, sepanjang 2023, Indonesia menjadi pemasok utama kebutuhan batu bara Cina sebesar sebesar 205 juta ton atau sekitar 55% dari total impor Negeri Panda. Bagi Cina, impor ini menjadi rekor setelah 2021 dengan jumlah hanya 193 juta ton. Laporan CoalHub 2024 juga menunjukkan tren serupa, impor dari Indonesia sepanjang Januari-Oktober saja sudah mencapai 185 juta ton.
Selain Cina, Indonesia juga mengirim sebagian besar batu bara ke India. Mencapai 56% dari total impor India, jumlah batu bara yang dikirimkan 103 juta ton sepanjang 2024. Kedua negara ini menjadi penyumbang 92% dari kapasitas PLTU batu bara baru yang diusulkan secara global pada 2024.
Tren keuangan global mendorong transisi energi
Sepanjang tahun lalu, 46% dari 318 lembaga keuangan besar memiliki setidaknya kebijakan dasar terkait pendanaan terhadap batu bara. Terdapat tambahan 22 lembaga keuangan yang mengambil langkah kebijakan tegas terhadap batu bara. Mereka tergabung dalam Reclaim Finance Coal Policy Tracker.
Delapan bank besar yaitu HSBC, Standard Chartered, DBS, UOB, OCBC, Mizuho, SMBC, dan QNB menambahkan beragam ketentuan yang membatasi kebijakan investasi batu bara. Artinya, ada peluang mereka akan menghentikan investasi pada industri batu bara.
Standard Chartered dengan tegas juga telah menghentikan pendanaannya pada PT Adaro Indonesia, produser terbesar kedua batu bara di Indonesia. Langkah ini diambil pada 2022 karena Adaro ‘bergantung 100% pada produksi batu bara’. Pada tahun yang sama, DBS juga berhenti mendanai Adaro sebagai bentuk komitmen mengatasi krisis iklim. DBS juga menargetkan akan berhenti sepenuhnya mendanai perusahaan batu bara lain per 2039.
Hal serupa dilakukan oleh bank-bank raksasa di Eropa. Bank Prancis Société Générale berkomitmen untuk tidak membiayai semua proyek batu bara termasuk pembangunan infrastrukturnya. Bank ini juga enggan menerima klien baru yang mendapatkan penghasilan lebih dari 50% dari ekstraksi batu bara.
Perusahaan asuransi Swiss Zurich juga mengecualikan pembiayaan tambang batu bara di tingkat proyek. Mereka enggan membiayai perusahaan yang melakukan penambangan batu bara. Swiss Zurich menjadi lembaga keuangan pertama di luar Prancis yang membatasi pembiayaan perusahaan batu bara secara menyeluruh.
Meski demikian, bank-bank BUMN seperti BRI, BNI, dan Mandiri masih tidak punya selera untuk mengeluarkan kebijakan pembiayaan terkait batu bara. Mandiri misalnya, sepanjang 2018-2020 mengucurkan US$4,6 miliar atau Rp66 triliun kepada perusahaan batu bara. Tindakan serupa juga dilakukan oleh BRI maupun BNI.
Melihat tren institusi keuangan global yang semakin meninggalkan batu bara seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah yang berkeras mempertahankan energi fosil ini mati-matian. Sikap ‘malas’ menunaikan janji dan komitmen untuk mencapai target net zero emission berisiko membuat Indonesia tertinggal kereta investasi dunia. Ditambah lagi, kerugian lingkungan dan sosial akibat pengerukan batu bara harus ditanggung oleh masyarakat sekitar pertambangan.
Editor: Robby Irfany Maqoma
Populer
Berita Terbaru
Bergabunglah dengan kami hari ini dan mulailah membuat dampak positif di planet ini.
Transisi Energi Berkeadilan ID: Sebuah Wadah Pengetahuan Tentang Proses Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia