Suara Perempuan dalam Transisi Energi: Pentingnya Membangun Energi Berbasis Komunitas

Sita Mellia

Penulis

4 menit membaca

Dua puluh lima tahun lagi, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah harus menggunakan 100% energi terbarukan. Target ini lebih ambisius dibanding target nasional, yakni 31% pada 2050. 

Gerakan progresif lain juga datang dari Nusa Tenggara Timur (NTT), yang telah memasukkan unsur GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion) melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 13 tahun 2024

Gerak cepat ini didasari banyaknya potensi energi terbarukan seperti air, angin, dan surya  di NTB dan NTT, selain juga karena faktor topografi yang mendukung. Kabupaten Lombok yang mayoritas berbukit dan berlereng, misalnya, memungkinkan daerah ini memiliki debit air yang stabil—cocok dibangun pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH).

Meski demikian, akademisi dan warga komunitas desa mengemukakan tantangan pelibatan perempuan dalam pengembangan energi terbarukan pada acara bertajuk “Memotret Keadilan Transisi Energi Indonesia” yang diadakan sekelompok organisasi masyarakat sipil di Mataram, 28-30 April 2025. 

Menurut Fahrunnisa, Dosen FISIPOL Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) yang juga perwakilan dari GEDSI Just Energy Transition (JET) NTB, adanya mandat GEDSI dalam Pergub 13/2024 bisa menjadi peluang untuk lebih melibatkan perempuan dan warga. 

“Ini dapat menjadi momentum untuk mengadvokasi bagaimana warga lokal terlibat dan bagaimana mengadvokasi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) kabupaten, yang selama ini belum tersentuh. Padahal, langkah ini paling strategis,” ujar Fahrunnisa.

Pasalnya, Nisa bercerita, saat ini pun perempuan di Pulau Sumbawa, NTB, masih mengalami kesulitan mengakses energi untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya gas LPG untuk memasak. “Satu orang biasanya hanya mendapat satu (LPG) untuk satu minggu, dan harus membawa KTP. UMR di Sumbawa lebih rendah dibanding provinsi, sekitar 2 juta rupiah. Untuk memasak, mereka harus mengantri seminggu sekali. Inilah mengapa perempuan menjadi penting di dalam transisi energi,” kata Fahrunnisa.

Sementara itu, Lusia Carli Bunga, Project Manager lembaga Circle Imagine Society (CIS) Timor, memaparkan bagaimana perempuan di desa masih sulit mengkomunikasikan kebutuhan energinya. Padahal, perempuan adalah kelompok paling terdampak.

“Ketika bicara energi, sering kali laki-laki yang mengambil keputusan dalam kebijakan. Perempuan di desa-desa tanpa sadar selalu bilang ‘kami tidak mengerti apa itu energi’. Padahal, memasak butuh energi. (Mendapat) air juga butuh energi. Perempuan selama ini mengambil air dengan berjalan berkilo-kilo meter,” ujar Lusia yang juga merupakan perwakilan Pokja Perubahan Iklim Provinsi NTT.

Ia juga menekankan bahwa kini masih ada ketimpangan distribusi pengetahuan antara laki-laki dan perempuan. Pengetahuan menjadi penting, karena berkat pengetahuan tentang transisi energi, perempuan bisa mengadvokasikan kebutuhannya.

Pernyataan Nisa juga dibenarkan oleh Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Mikewati Vera Tangka. Ia mengamati bahwa selama ini perempuan hanya sebatas ‘konsumen’ dalam diskursus transisi energi. 

“Ketika antre gas melon, perempuan yang jadi korbannya. Ketika perempuan mau mengganti energi alternatif, tidak muncul narasinya. Ini dikarenakan paradigma media atau penyedia edukasi masih menganggap bahwa ‘energi’ bukan pengetahuan perempuan, melainkan pemerintah,” ungkap Mike.

Pertemuan ini juga menekankan peran krusial perempuan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas, terutama karena mereka sering menjadi pengguna, pengelola, kelompok paling terdampak, dan bahkan agen perubahan di tingkat rumah tangga dan desa.

Oleh karenanya, Mouna Wasef, Kepala Divisi Riset dan Advokasi Publish What You Pay (PWYP), juga mendorong energi terbarukan berbasis komunitas. Sebab, masing-masing daerah memiliki potensi dan karakteristik budaya serta topografi yang berbeda.

“Harus ada perubahan paradigma. Untuk mengaliri 100% listrik, harus ada pemetaan potensi daerah untuk membangun energi terbarukan berbasis komunitas. Kami ingin ada perubahan dalam UU Ketenagalistrikan agar tidak tersentralisasi lagi. Kita juga bisa mendorong ini di RUEN (Rencana Umum Energi Nasional),” tegas Mouna.

Pernyataan Mouna ada benarnya. Menurut kajian lembaga think-tank Center of Economic and Law Studies (CELIOS), energi terbarukan berbasis komunitas yang dikembangkan secara serius berpotensi menghasilkan dampak ekonomi hingga Rp18,6 ribu triliun dan mengangkat 16 juta penduduk dari kemiskinan pada 25 tahun ke depan. Angka ini berasal dari potensi penyerapan tenaga kerja untuk pemasangan dan perawatan fasilitas pembangkit listrik, hasil produksi industri lokal, hingga sektor manufaktur kecil hingga menengah karena pengembangan energi terbarukan di desa-desa. 

Mouna juga kembali mengingatkan pentingnya mencari sumber pendanaan alternatif selain dari APBN. Sebab, energi terbarukan dan pemerataan aliran listrik tidak dapat terjadi tanpa adanya pendanaan masif. 

“Masalah utama yang menghambat dalam pengembangan energi terbarukan itu uang. Pemerintah perlu mencari sumber alternatif baru. Ada skema yang bisa dikenakan seperti windfall profit tax, sehingga ketika harga mineralnya tinggi, keuntungan bisa digunakan untuk dana hijau. Pajak kekayaan juga bisa dikenakan, sebab orang kaya menyumbang emisi besar,” tutup Mouna.

Editor: Robby Irfany Maqoma

energi-terbarukaninklusi-sosialtransisi-energitransisi-energi-berkeadilan

Populer

Perbedaan PLTA, PLTM, dan PLTMH, Penghasil Listrik dari Energi Air 

Michelle Clysia

Penulis

28 Nov 2023 18:38

5
7 menit membaca

Berita Terbaru

Setali Tiga Uang Pemerintah dan Swasta: Berat Hati Danai Mitigasi Iklim

02 May 2025 17:32

5
3 menit membaca

Merombak corak sentralistis panas bumi Indonesia

28 Apr 2025 15:04

51
4 menit membaca

Bergabunglah dengan kami hari ini dan mulailah membuat dampak positif di planet ini.

Logo black

Transisi Energi Berkeadilan ID: Sebuah Wadah Pengetahuan Tentang Proses Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia 

© 2025 transisienergiberkeadilan.id