Misi menahan laju panas bumi untuk tetap di bawah 1,5°C membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. IESR mengungkapkan kebutuhan pendanaan iklim tiap tahun terus meningkat hingga US$9 triliun pada tahun 2030. Bahkan, dalam periode 2031-2050 kebutuhan pendanaan ini naik menjadi US$10 triliun secara global setiap tahunnya.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengungkapkan, Indonesia memerlukan US$285 miliar atau lebih dari Rp4 ribu triliun sepanjang 2018-2030 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Anggaran ini tersebar dalam lima sektor yaitu energi, pertanian, hutan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU), industri, dan limbah. Sementara, untuk benar-benar mencapai bersih emisi atau net zero emission pada 2060, Indonesia butuh US$2,4 triliun alias Rp38 ribu triliun.
Secara khusus, sektor ketenagalistrikan sebagai kontributor emisi terbesar, membutuhkan US$97 miliar antara tahun 2023-2030. Dana ini dibutuhkan untuk memenuhi target 34% bauran energi terbarukan pada 2030.
Sayangnya, besarnya kebutuhan ini tidak diimbangi dengan jumlah pendanaan yang masuk. Baik pemerintah maupun swasta, seperti lembaga keuangan, sama-sama enggan menggelontorkan dananya.
Ragu-ragu swasta jalani komitmen
Riset Climate Policy Initiative (CPI) sepanjang 2015-2021 menunjukkan kesenjangan besar dalam investasi sektor keuangan untuk proyek iklim. Lembaga keuangan publik dan swasta hanya menyumbang US$41 miliar (Rp679 triliun) atau mencakup 15% kebutuhan Indonesia.
Setiap tahun, lembaga keuangan publik dan swasta menyumbang porsi US$3,4-3,5 miliar (Rp56,3-58 triliun). Meski terlihat besar, angka ini hanya mewakili 3% dari total investasi mereka. Artinya, potensi untuk investasi sebenarnya masih sangat besar.
Perbandingan pembiayaan iklim di Indonesia selama 2015-2021. DFI atau Development finance institutions adalah lembaga pembiayaan untuk pembangunan (seperti Bank Dunia, PT Sarana Multi Infrastruktur, dan sebagainya). Sementara commercial FI merujuk pada lembaga keuangan komersial. (Sumber: Climate Policy Initiative).
Belum lagi suntikan investasi itu masih didominasi oleh lembaga keuangan multilateral atau bilateral. Sementara lembaga keuangan nasional masih sangat minim mendanai proyek-proyek untuk mengatasi dampak krisis iklim.
‘Pilih kasih’ pemerintah
Di tengah surutnya pendanaan iklim, kerja sama internasional untuk pembangunan PLTU di Indonesia masih gencar. Dalam riset 2013-2017, pembiayaan luar negeri untuk PLTU di Indonesia mencapai US$17 miliar atau Rp243 triliun. Berbanding terbalik, pembiayaan untuk proyek listrik energi terbarukan hanya US$1 miliar atau Rp14 triliun.
Sementara itu, pemerintah hanya mengeluarkan dana APBN untuk aksi iklim Rp610 triliun pada 2016-2023, atau hanya Rp76 triliun per tahun. Rata-rata dana tahunan tersebut sangat kecil, sekitar 3,2% saja dari keseluruhan APBN. Sementara itu, secara akumulatif, pemerintah baru mengeluarkan 12% dari total kebutuhan dana iklim sampai 2030.
Perhitungan CPI justru menunjukkan angka yang lebih kecil. Sepanjang 2015-2020, hanya 6% dari total belanja yang digunakan untuk aksi iklim.
Di lain pihak, subsidi bahan bakar fosil terus meningkat hingga 9% dari total APBN. Bahkan, pada 2021, total subsidi energi fosil yang diberikan mencapai 13%.
Perbandingan subsidi bahan bakar fosil dengan belanja iklim pemerintah (Sumber: Climate Policy Initiative).
Himpunan bank milik negara (Himbara) juga masih gemar mendanai batu bara. BNI menggelontorkan Rp31,9 triliun atau 4,2% dari total kredit yang diberikan sepanjang tahun lalu. Angka ini terus meningkat dari tahun sebelumnya dengan proporsi ‘hanya’ sekitar 3,8%. BRI berada di peringkat kedua dengan penyaluran dana sebesar Rp23 triliun dalam periode 2020-2023.
Mandiri menjadi peringkat pertama investor industri batu bara. Hanya dalam tiga tahun setidaknya Rp66 triliun telah digelontorkan untuk mendukung industri batu bara. Pada 2024 saja investasi yang dikucurkan untuk bara meningkat 56% menjadi Rp21,5 triliun. Bentuk dukungan Mandiri terhadap batu bara semakin menguat dengan mendanai PLTU captive smelter aluminium milik PT Adaro di Kalimantan Utara. Padahal, PLTU ini berkontribusi pada pencemaran udara dengan melepas 5,2 juta ton CO2 per tahun.
Alih-alih surut, aliran pendanaan untuk energi fosil justru bisa semakin besar melalui pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara. Salah satu proyek yang menjadi prioritas Danantara adalah pengolahan batu bara menjadi dimetil eter (DME) senilai Rp179 triliun. Padahal, DME menuai banyak kritik karena berpotensi meningkatkan subsidi mengingat biaya investasi dan produksinya yang mahal. Proses pengerukan batu bara untuk produksi DME juga berisiko menghasilkan 4,6 juta ton CO2 per tahun.
Hambatan mengumpulkan dana iklim
Situasi di Indonesia masih menggentarkan swasta untuk berinvestasi pada energi terbarukan. Mulai dari risiko nilai tukar mata uang asing, lanskap politik, hingga fluktuasi permintaan energi. Ketidakpastian ini membentuk persepsi bahwa investasi iklim lebih mahal dan berisiko ketimbang investasi lain.
Beberapa perusahaan akhirnya batal investasi di sektor energi terbarukan karena peraturan yang tidak mendukung. Per 2023, ada sembilan proyek energi terbarukan senilai Rp51 triliun mandek. Penyebabnya, pemberi pendanaan internasional seperti ADB, JICA, dan World Bank, terbebani persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Sebagai contoh, untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), modul yang dibutuhkan tidak tersedia di dalam negeri sehingga 80% diantaranya harus impor. Sementara itu, syarat TKDN yang mengharuskan pengadaan barang dari dalam negeri minimal 40% ini terlalu berat. Akibatnya, investor asing dan perusahaan pelaksana merasa dipersulit untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan.
Syarat TKDN sebenarnya sudah diturunkan ke 20% untuk proyek energi surya ataupun 0% untuk impor modul surya, tapi belum cukup menarik arus investasi energi terbarukan ke Indonesia.
Ketua Kamar Dagang Cina juga mengeluhkan peraturan yang mewajibkan PLN memiliki 51% bagian dari proyek energi di Indonesia. Tidak hanya investor asing, perusahaan lokal juga kesulitan dengan monopoli PLN di sektor energi. Akibatnya, sebagian besar proyek energi terbarukan tidak layak secara finansial, terutama dengan PLN sebagai satu-satunya pembeli listrik.
Situasi sistem ketenagalistrikan yang kelebihan daya (oversupply) juga menyulitkan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Per 2023 lalu, cadangan daya listrik PLN pada sistem Jawa-Bali mencapai 44%, Kalimantan 57%, hingga Lombok 37%. Angka ini melebihi cadangan daya ideal sistem kelistrikan Indonesia sebesar 30%. Padahal, sebagian besar listrik dari sistem ini masih diproduksi dari energi fosil seperti batu bara dan gas.
Selain itu, tidak banyak insentif khusus yang diberikan pemerintah kepada untuk memasifkan penggunaan energi terbarukan. Beberapa tahun silam, pemerintah bahkan tidak sungkan untuk meminta investor energi terbarukan masuk tanpa insentif.
Padahal, negara-negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina, telah menggelontorkan insentif demi menarik investasi energi terbarukan. Bentuknya pun bervariasi, seperti harga jual listrik yang lebih tinggi untuk mempercepat pengembalian investasi, maupun pembebasan bea masuk untuk mengurangi biaya modal.
TKBI, kebijakan ‘pemantik’ yang masih membela batu bara
Selain insentif, peningkatan investasi berkelanjutan dari swasta masih sangat bergantung pada regulasi pendukung yang mendorong perubahan. Sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan dikeluarkan, terjadi peningkatan 136% dalam investasi terkait.
OJK juga mengeluarkan Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 pada 2022—yang sudah beberapa kali diperbarui—dengan harapan lembaga keuangan bisa meningkatkan investasi pada sektor hijau.
Sayangnya, sistem klasifikasi dalam TKBI masih memasukkan bahan bakar fosil dalam kategori ‘transisi’ selama berkomitmen mengurangi emisi. Kebijakan ini dianggap sebagai kemunduran untuk mendorong praktik bisnis yang bertanggung jawab. Sebab, kategori ‘transisi’ dapat mengaburkan risiko dan tanggung jawab pemilik usaha.
TKBI pun memasukkan PLTU captive yang notabene masih menggunakan batu bara ke dalam kategori ‘transisi’. Artinya, PLTU captive masih dianggap sebagai sektor yang mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon. Nyatanya, pembangkit listrik ini turut menghasilkan emisi dan menyebabkan pencemaran, terutama di daerah pengolahan bahan tambang.
Menggenjot pendanaan iklim, mengembangkan energi terbarukan
Sejauh ini komitmen pengembangan energi terbarukan pemerintah belum tercermin dalam kebijakan yang ambisius. Alih-alih hanya membuat pernyataan pendukung, pemerintah bisa menunjukkan komitmennya lewat pembuatan regulasi-regulasi yang mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan.
Jika komitmen pemerintah benar-benar kuat, ada banyak alternatif pembiayaan yang bisa digunakan. Misalnya, mengalihkan dana subsidi untuk mendorong energi terbarukan. Jika masih sulit, pemerintah bisa meningkatkan biaya pungutan untuk produksi batu bara.
Peningkatan investasi juga bisa dilakukan secara tak langsung, yakni dengan mendorong pengakhiran PLTU lebih cepat. Pemerintah memang sudah membuat peta jalan pengakhiran PLTU, tapi masih memerlukan kejelasan waktu dan unit pembangkit yang diakhiri.
Editor: Robby Irfany Maqoma
Bergabunglah dengan kami hari ini dan mulailah membuat dampak positif di planet ini.
Transisi Energi Berkeadilan ID: Sebuah Wadah Pengetahuan Tentang Proses Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia