Pertemuan bilateral antara Presiden Prabowo Subianto dan Emir Qatar, Sheikh Tamim, pada Sabtu, 12 April 2025 (Sumber: Mensesneg)
Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenakan bea masuk atau tarif impor terhadap barang-barang dari 90 negara, terutama dari Cina yang terkena tarif tertinggi, membuat ekonomi dunia melemah. Sejumlah analisis bahkan memaparkan kemungkinan resesi global lebih tinggi akibat ulah Trump.
Ketidakpastian ekonomi membuat harga minyak dunia turun. Ekstraksi minyak fosil kemungkinan akan jauh berkurang bahkan hingga tahun depan, menurut proyeksi Badan Energi Internasional (IEA).
Tren ini cukup membuat gerah negara-negara penghasil minyak, termasuk dari kawasan Timur Tengah. Perekonomian mereka sudah terdampak perang dagang. Permintaan minyak yang tidak sebanyak biasanya akan mengguncang keuangan negara-negara di kawasan ini. Arab Saudi, misalnya, mengandalkan 70% pendapatan ekspor dan 46% PDB-nya pada minyak.
Ini membuktikan bagaimana bahan bakar fosil seperti minyak dan gas fosil serta batu bara sangatlah fluktuatif terhadap tren ekonomi global. Apalagi biaya produksi kedua komoditas tersebut cukup mahal. Tak sedikit negara-negara Timur Tengah yang menyadarinya lalu menjelajahi peluang bisnis alternatif untuk perlahan menjauhi bisnis minyak dan gas fosil.
Upaya negara Timur Tengah bisa menjadi peluang emas bagi Indonesia yang tengah berjuang mencari investasi untuk menggenjot transisi energi. Memperluas jejaring pendanaan transisi energi—termasuk ke kawasan tersebut—adalah peluang baik untuk segera meninggalkan batu bara.
Putar arah ke Timur Tengah
Negara-negara Teluk atau Timur Tengah juga termasuk kawasan yang rentan terpapar panas ekstrem berkali-kali lipat akibat perubahan iklim.
Situasi ini, selain karena faktor ekonomi, turut memantik mereka gencar berinvestasi pada sektor energi terbarukan, sembari pelan-pelan mundur dari sektor minyak dan gas. Sebanyak lima dari 12 negara kawasan juga telah memetakan target emisi nol bersih, meski skornya masih jauh dari cukup untuk meredam laju perubahan iklim secara agresif.
Menurut laporan Energy Industries Council (2024), Timur Tengah diproyeksikan menerima investasi sebesar US$75,63 miliar untuk proyek energi terbarukan hingga 2030. Meski masih didominasi investasi energi fosil karena merupakan kawasan penghasil minyak dan gas, International Energy Agency (IEA) menghitung bahwa untuk setiap US$ 1 yang dialokasikan Timur Tengah untuk energi fosil, akan diimbangi dengan 70 sen untuk energi bersih.
Dana kekayaan negara atau Sovereign Wealth Fund (SWF) besar di dunia juga dipegang oleh kawasan penghasil minyak ini—Abu Dhabi Investment Authority (ADIA), Kuwait Investment Authority (KIA), dan Public Investment Fund (PIF). Kini, total aset yang dikelola ketiganya mencapai US$ 3 triliun.
Aset dana kekayaan negara di Timur Tengah di tahun 2024 (Sumber: Sovereign Wealth Fund melalui CELIOS, 2025).
Angka investasi tersebut telah berdampak pada proyek infrastruktur, inovasi teknologi, dan pembangunan berkelanjutan di dunia. Public Investment Fund, misalnya, menggelontorkan pendanaan sebesar US$500 miliar (Rp8.427,5 triliun) pada proyek NEOM di Arab Saudi—sebuah megaproyek kota masa depan yang akan menggunakan 100% energi terbarukan.
Dana kekayaan negara di Timur Tengah menjadi angin segar untuk menopang Indonesia yang butuh modal dan teknologi hijau. Investor dari negara kawasan tersebut dapat menyuntikkan modal melalui skema blended finance (pendanaan dari beraneka sumber seperti investasi swasta, hibah, dan lainnya) yang diterapkan Badan Pengelola Investasi Indonesia, Danantara.
Peluang di tengah perang dagang
Indonesia telah lama menjadi kandidat menarik di mata Timur Tengah. Selain karena keduanya merupakan negara dengan mayoritas muslim, kemitraan bisnis Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah juga telah terjalin.
Tengok saja kerja sama antara Masdar (perusahaan energi asal Uni Emirat Arab) dan PLN untuk pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata, di Jawa Barat. PLTS seluas 200 hektare dan berkapasitas 192 Megawatt peak ini telah mengalirkan listrik ke lebih dari 50.000 rumah.
Baru-baru ini, Masdar dan PLN juga mengumumkan kelanjutan kerja sama proyek penambahan kapasitas di Cirata dan pembangunan unit baru di Jatigede, Jawa Barat.
Dengan daya tawar melimpah seperti energi surya, air, dan angin, Indonesia menjadi wilayah potensial sebagai basis produksi teknologi energi terbarukan di kawasan Global South. Hal ini didukung oleh potensi energi surya yang bisa mencapai lebih dari 200 GW, potensi angin di wilayah timur Indonesia, serta ketersediaan sumber daya air yang cocok untuk pembangkit listrik mikrohidro.
Pemerintah hanya tinggal melihat transisi energi sebagai peluang ekonomi, alih-alih sebagai beban fiskal. Greenpeace dan Celios di tahun 2023 telah memperkirakan, kerja sama di sektor energi terbarukan dapat menumbuhkan perekonomian sebesar Rp 4.376 triliun dalam 7 tahun ke depan, serta menyerap sebanyak 19,4 juta tenaga kerja. Hasil ini diperoleh dengan asumsi terdapat suntikan investasi ekonomi hijau sebesar Rp. 1.300 triliun—hanya 15% dari dana yang digelontorkan Public Investment Fund untuk NEOM.
Studi CELIOS di tahun 2025 juga menyebut, bentuk kerja sama bilateral dengan Timur Tengah bisa dilakukan dengan skema bundling—pemensiunan PLTU batu bara dan dialihkan ke pembangkit EBT baru. Dengan kata lain, investor membeli PLTU tua, kemudian dipensiunkan dini, lalu dialihkan ke proyek PLTS/PLTB baru. Hal ini memungkinkan arus kas proyek EBT dapat menggantikan beban operasional PLTU yang mahal dan tidak berkelanjutan.
Skema lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikan Timur Tengah sebagai investor perumahan dan energi sekaligus. Misalnya, proyek 3 juta rumah Prabowo dapat di-bundle dengan instalasi panel surya di atapnya.
Indonesia bisa melirik kandidat negara-negara Timur Tengah yang paling potensial untuk menjalin kerja sama transisi energi, seperti Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Arab Saudi, dan Kuwait.
UEA memiliki rekam jejak kerja sama ekonomi dengan Indonesia sejak 2014—jauh sebelum menjalin kemitraan pembangunan PLTS terapung. Sementara Qatar telah menandatangani MoU pembangunan 1 juta rumah di Indonesia sejak 2025—dapat diperluas lagi dengan melakukan proyek bundling energi. Sementara Arab Saudi dan Kuwait sama-sama memiliki salah satu SWF terbesar di dunia, dengan total aset gabungan mencapai hampir US$ 2 triliun.
Bertahan di tengah turbulensi transisi energi
Dalam mencari pendanaan, Indonesia perlu menjelajahi lebih banyak peluang investasi ke Timur Tengah, alih-alih menunggu langkah negara-negara barat di tengah ketidakpastian ekonomi.
Kerja sama pengelolaan dana bersama senilai US$ 4 miliar (Rp67,5 triliun) oleh Danantara dan Qatar merupakan awal yang baik. Pendanaan ini sepatutnya bisa difokuskan untuk investasi energi terbarukan, mengingat Indonesia membutuhkan sekitar US$16 miliar hingga 2030 untuk menggenjot pengembangan energi tersebut.
Untuk memikat kerja sama dengan SWF Timur Tengah, pemerintah perlu segera memperbaiki tata kelola Danantara—membersihkan investasi energi fosil, menyingkirkan politisi aktif baik dalam manajer operasional maupun dewan penasihat, dan mengikuti prinsip tata kelola, lingkungan, dan sosial (ESG) dalam semua transaksi.
Indonesia juga perlu menyadari kekuatannya dan mulai berbalik arah ke energi terbarukan, dibanding terus menginvestasikan di sektor energi fosil. Ini termasuk menghentikan proyek gasifikasi batu bara yang rencananya akan didanai Danantara tapi dianggap tak ekonomis oleh MIND ID selaku induk perusahaan tambang negara.
Pasokan energi berbasis sumber terbarukan yang tidak terpengaruh fluktuasi harga dan kondisi ekonomi global juga akan membuat ekonomi nasional lebih kokoh.
Namun, sebelum memulai investasi hijau dan meningkatkan standar hijau, pemerintah perlu memberikan kepastian hukum dalam regulasi investasi, mengurangi kebijakan yang tumpang tindih, serta membulatkan kemauan politik untuk segera meninggalkan batu bara.
Editor: Robby Irfany Maqoma
Populer
Berita Terbaru
Bergabunglah dengan kami hari ini dan mulailah membuat dampak positif di planet ini.
Transisi Energi Berkeadilan ID: Sebuah Wadah Pengetahuan Tentang Proses Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia