Tentang Transisi Energi Berkeadilan Semenjak diluncurkannya skema pembiayaan Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM) dalam KTT G20 di Bali pada November 2022, istilah transisi energi berkeadilan menjadi sering terdengar dalam diskursus publik. Transisi energi berkeadilan sendiri merupakan proses transisi energi dari industri energi fosil yang ekstraktif menuju energi terbarukan yang berkelanjutan. [&hellip;]

Home About Just Energy Transition ID - Transisi Energi Berkeadilan

Home

Home About Just Energy Transition ID

Transisi Energi Berkeadilan

https://secure.gravatar.com/avatar/ba9a215e187166dfb2238b20f97c6bb0?s=96&d=mm&r=g

superadmin

Platform ini menjadi ruang berbagi pengetahuan dan kerja sama komunitas demi mendukung transisi energi berkeadilan di Indonesia.

TEB.id: Kolaborasi untuk Transisi Energi Berkeadilan

Misi menahan laju panas bumi untuk tetap di bawah 1,5°C membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. <a href="https://iesr.or.id/mobilisasi-pendanaan-bagi-iklim/">IESR</a> mengungkapkan kebutuhan pendanaan iklim tiap tahun terus meningkat hingga US$9 triliun pada tahun 2030. Bahkan, dalam periode 2031-2050 kebutuhan pendanaan ini naik menjadi US$10 triliun secara global setiap tahunnya. 



United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengungkapkan, Indonesia memerlukan <a href="https://unfccc.int/sites/default/files/NDC/2022-09/ENDC%20Indonesia.pdf">US$285</a> miliar atau lebih dari Rp4 ribu triliun sepanjang 2018-2030 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Anggaran ini tersebar dalam lima sektor yaitu energi, pertanian, hutan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU), industri, dan limbah. Sementara, untuk benar-benar mencapai bersih emisi atau net zero emission pada 2060, Indonesia butuh <a href="https://hijau.bisnis.com/read/20241205/652/1821970/indonesia-butuh-investasi-rp38000-triliun-untuk-capai-target-nol-emisi-2060#:~:text=Bisnis.com%2C%20JAKARTA%20%E2%80%93%20Indonesia,Kearney%2C%20perusahaan%20konsultan%20manajemen%20global.">US$2,4 triliun alias Rp38 ribu triliun</a>.&nbsp;



Secara khusus, sektor ketenagalistrikan sebagai kontributor emisi terbesar, membutuhkan <a href="https://jetp-id.org/storage/executive-summary-jetp-cipp-2023-vshare_id.pdf">US$97 miliar antara tahun 2023-2030</a>. Dana ini dibutuhkan untuk&nbsp; memenuhi target 34% bauran energi terbarukan pada 2030.&nbsp;



Sayangnya, besarnya kebutuhan ini tidak diimbangi dengan jumlah pendanaan yang masuk. Baik pemerintah maupun swasta, seperti lembaga keuangan, sama-sama enggan menggelontorkan dananya.&nbsp;



Ragu-ragu swasta jalani komitmen



Riset <a href="https://www.climatepolicyinitiative.org/wp-content/uploads/2025/02/Climate-Aligned-Investments-and-Policy-Nexus-in-Indonesia.pdf">Climate Policy Initiative (CPI)</a> sepanjang 2015-2021 menunjukkan kesenjangan besar dalam investasi sektor keuangan untuk proyek iklim. Lembaga keuangan publik dan swasta hanya menyumbang US$41 miliar (Rp679 triliun) atau mencakup 15% kebutuhan Indonesia.



Setiap tahun, lembaga keuangan publik dan swasta menyumbang porsi US$3,4-3,5 miliar (Rp56,3-58 triliun). Meski terlihat besar, angka ini hanya mewakili 3% dari total investasi mereka. Artinya, potensi untuk investasi sebenarnya masih sangat besar.



<figure class="wp-block-image size-large"><img src="https://cms.transisienergiberkeadilan.id/wp-content/uploads/2025/05/Screenshot-2025-05-02-at-17.24.34-1024x648.png" alt="" class="wp-image-1759"/></figure>



Perbandingan pembiayaan iklim di Indonesia selama 2015-2021. DFI atau Development finance institutions adalah lembaga pembiayaan untuk pembangunan (seperti Bank Dunia, PT Sarana Multi Infrastruktur, dan sebagainya). Sementara commercial FI merujuk pada lembaga keuangan komersial. (Sumber: Climate Policy Initiative).



Belum lagi suntikan investasi itu masih didominasi oleh lembaga keuangan multilateral atau bilateral. Sementara lembaga keuangan nasional masih sangat minim mendanai proyek-proyek untuk mengatasi dampak krisis iklim. 



‘Pilih kasih’ pemerintah&nbsp;



Di tengah surutnya pendanaan iklim, kerja sama internasional untuk pembangunan PLTU di Indonesia masih gencar. Dalam <a href="https://theconversation.com/david-vs-goliath-mengapa-pendanaan-pltu-di-indonesia-lebih-perkasa-ketimbang-energi-terbarukan-178648">riset 2013-2017</a>, pembiayaan luar negeri untuk PLTU di Indonesia mencapai US$17 miliar atau Rp243 triliun. Berbanding terbalik, pembiayaan untuk proyek listrik energi terbarukan hanya US$1 miliar atau Rp14 triliun.



Sementara itu, pemerintah hanya mengeluarkan dana APBN untuk aksi iklim Rp610 triliun pada 2016-2023, atau hanya Rp76 triliun per tahun. Rata-rata dana tahunan tersebut sangat kecil, sekitar 3,2% saja dari keseluruhan APBN. Sementara itu, secara akumulatif, <a href="https://hijau.bisnis.com/read/20250426/651/1872206/apbn-baru-penuhi-123-pendanaan-iklim-swasta-diminta-kontribusi#:~:text=Bisnis.com%2C%20JAKARTA%20%E2%80%94%20Badan,dari%20tahun%202016%20hingga%202023.">pemerintah baru mengeluarkan 12%</a> dari total kebutuhan dana iklim sampai 2030.



<a href="https://www.climatepolicyinitiative.org/wp-content/uploads/2025/02/Climate-Aligned-Investments-and-Policy-Nexus-in-Indonesia.pdf">Perhitungan CPI</a> justru menunjukkan angka yang lebih kecil. Sepanjang 2015-2020, hanya 6% dari total belanja yang digunakan untuk aksi iklim.&nbsp;



Di lain pihak, subsidi bahan bakar fosil terus meningkat hingga 9% dari total APBN. Bahkan, pada 2021, total subsidi energi fosil yang diberikan mencapai 13%.



<figure class="wp-block-image"><img src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXf0PU8XNlkYO7ng7VexiYZtX4p2Xfntze0n66bfHaS3r0N3LVqvaQh3aanS-1j8vT1nqCuBKVeZH4pMgCvKNq6rzE-9_G4Mn1MOLLG_1WiUVdaVX5iqxWDtLzwPAWKiRYDibgI4zw?key=TB_NKcmr_3Phb_V_zt9aDgz4" alt=""/></figure>



Perbandingan subsidi bahan bakar fosil dengan belanja iklim pemerintah (Sumber: Climate Policy Initiative).



Himpunan bank milik negara (Himbara) juga masih gemar mendanai batu bara. BNI menggelontorkan <a href="https://keuangan.kontan.co.id/news/kredit-perbankan-ke-sektor-pertambangan-mengucur-deras-pada-2024">Rp31,9 triliun atau 4,2% dari total kredit </a>yang diberikan sepanjang tahun lalu. Angka ini terus meningkat dari tahun sebelumnya dengan proporsi ‘hanya’ sekitar 3,8%. BRI berada di peringkat kedua dengan penyaluran dana sebesar Rp23 triliun dalam periode 2020-2023. 



Mandiri menjadi peringkat pertama investor industri batu bara. Hanya dalam tiga tahun <a href="https://www.tempo.co/ekonomi/riset-icw-dan-trend-asia-6-perusahaan-batu-bara-terima-rp-163-triliun-dari-bank-nasional-26958">setidaknya Rp66 triliun</a> telah digelontorkan untuk mendukung industri batu bara. Pada 2024 saja investasi yang dikucurkan untuk bara <a href="https://keuangan.kontan.co.id/news/kredit-perbankan-ke-sektor-pertambangan-mengucur-deras-pada-2024">meningkat 56% menjadi Rp21,5 triliun</a>. Bentuk dukungan Mandiri terhadap batu bara semakin menguat dengan mendanai PLTU captive smelter aluminium milik PT Adaro di Kalimantan Utara. Padahal, PLTU ini berkontribusi pada pencemaran udara dengan melepas 5,2 juta ton CO2 per tahun.



Alih-alih surut, aliran pendanaan untuk energi fosil justru bisa semakin besar melalui pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara. Salah satu proyek yang menjadi prioritas Danantara adalah pengolahan batu bara menjadi dimetil eter (DME) senilai Rp179 triliun. Padahal, <a href="https://theconversation.com/wacana-danantara-mendanai-proyek-batu-bara-dibayangi-besarnya-risiko-keuangan-dan-lingkungan-251815#:~:text=Presiden%20Prabowo%20Subianto%20berencana%20menggenjot,lalu%2C%20akan%20menjadi%20penyalur%20dananya.">DME menuai banyak kritik</a> karena berpotensi meningkatkan subsidi mengingat biaya investasi dan produksinya yang mahal. Proses pengerukan batu bara untuk produksi DME juga berisiko menghasilkan <a href="https://www.aeer.or.id/wp-content/uploads/2023/07/Coal-Downstreaming-will-increase-Indonesias-GHG-1.pdf">4,6 juta ton CO2</a> per tahun.&nbsp;



Hambatan mengumpulkan dana iklim



Situasi di Indonesia masih menggentarkan swasta untuk berinvestasi pada energi terbarukan. Mulai dari risiko nilai tukar mata uang asing, lanskap politik, hingga fluktuasi permintaan energi. Ketidakpastian ini membentuk <a href="https://www.climatepolicyinitiative.org/wp-content/uploads/2025/02/Climate-Aligned-Investments-and-Policy-Nexus-in-Indonesia.pdf">persepsi bahwa investasi iklim lebih mahal</a> dan berisiko ketimbang investasi lain.



Beberapa perusahaan akhirnya batal investasi di sektor energi terbarukan karena peraturan yang tidak mendukung. Per 2023, ada <a href="https://asianews.network/local-content-rules-holding-back-9-renewable-energy-projects-pln-says">sembilan proyek energi terbarukan senilai Rp51 triliun mandek.</a> Penyebabnya, pemberi pendanaan internasional seperti ADB, JICA, dan World Bank, terbebani persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).&nbsp;



Sebagai contoh, untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), modul yang dibutuhkan tidak tersedia di dalam negeri sehingga 80% diantaranya harus impor. Sementara itu, syarat TKDN yang mengharuskan pengadaan barang dari dalam negeri minimal <a href="https://www.antaranews.com/berita/2186390/syarat-tkdn-40-persen-hambat-pegembangan-energi-surya-di-indonesia">40% ini terlalu berat.</a> Akibatnya, investor asing dan perusahaan pelaksana merasa dipersulit untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan.&nbsp;



Syarat TKDN sebenarnya sudah <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/296563/permen-esdm-no-11-tahun-2024">diturunkan ke 20%</a> untuk proyek energi surya ataupun <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/296084/permenperin-no-33-tahun-2024">0% untuk impor modul surya</a>, tapi belum cukup menarik arus investasi energi terbarukan ke Indonesia.



<a href="https://www.thejakartapost.com/business/2024/01/18/onerous-rules-holding-back-ri-green-energy-sector-chinese-investors-say">Ketua Kamar Dagang Cina</a> juga mengeluhkan peraturan yang mewajibkan PLN memiliki 51% bagian dari proyek energi di Indonesia. Tidak hanya investor asing, perusahaan lokal juga kesulitan dengan monopoli PLN di sektor energi. Akibatnya, sebagian besar <a href="https://www.thejakartapost.com/business/2023/06/20/ri-businesses-call-for-change-in-plns-dominanceto-hit-renewable-target.html">proyek energi terbarukan tidak layak secara finansial</a>, terutama dengan PLN sebagai satu-satunya pembeli listrik.



Situasi sistem ketenagalistrikan yang kelebihan daya (oversupply) juga menyulitkan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. <a href="https://trendasia.org/belenggu-oversupply-listrik-atas-pln/">Per 2023 lalu,</a> cadangan daya listrik PLN pada sistem Jawa-Bali mencapai 44%, Kalimantan 57%, hingga Lombok 37%. Angka ini melebihi cadangan daya ideal sistem kelistrikan Indonesia <a href="https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/14b6b-20250228-final-laporan-kinerja-tahun-2024-final-ttd.pdf">sebesar 30%</a>. Padahal, sebagian besar listrik dari sistem ini masih diproduksi dari energi fosil seperti batu bara dan gas.&nbsp;



Selain itu, tidak banyak insentif khusus yang diberikan pemerintah kepada untuk memasifkan penggunaan energi terbarukan. Beberapa tahun silam, pemerintah bahkan tidak sungkan untuk meminta <a href="https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/direktorat-jenderal-ebtke/tanpa-insentif-pemerintah-minta-investor-kembangkan-ebt">investor energi terbarukan masuk tanpa insentif</a>.&nbsp;



Padahal, negara-negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina, telah menggelontorkan insentif demi menarik investasi&nbsp; energi terbarukan. Bentuknya pun bervariasi, seperti harga jual listrik yang lebih tinggi untuk mempercepat pengembalian investasi, maupun pembebasan bea masuk untuk mengurangi biaya modal.



TKBI, kebijakan ‘pemantik’ yang masih membela batu bara



Selain insentif, peningkatan investasi berkelanjutan dari swasta masih sangat bergantung pada regulasi pendukung yang mendorong perubahan. Sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan dikeluarkan, terjadi <a href="https://www.climatepolicyinitiative.org/wp-content/uploads/2025/02/Climate-Aligned-Investments-and-Policy-Nexus-in-Indonesia.pdf">peningkatan 136% dalam investasi terkait</a>.



OJK juga mengeluarkan Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 pada 2022—yang sudah beberapa kali diperbarui—dengan harapan lembaga keuangan bisa meningkatkan investasi pada sektor hijau.



Sayangnya, sistem klasifikasi dalam TKBI masih memasukkan bahan bakar fosil dalam kategori ‘transisi’ selama berkomitmen mengurangi emisi. Kebijakan ini <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/mengenal-greenwashing-tipu-daya-label-ramah-lingkungan-oleh-perusahaan-dan-pemerintah">dianggap sebagai kemunduran</a> untuk mendorong praktik bisnis yang bertanggung jawab. Sebab, kategori ‘transisi’ dapat mengaburkan risiko dan tanggung jawab pemilik usaha.



TKBI pun memasukkan PLTU captive yang notabene masih menggunakan batu bara ke dalam kategori <a href="https://hijau.bisnis.com/read/20240221/653/1743032/pltu-batu-bara-dapat-label-kuning-dalam-revisi-taksonomi-hijau.">‘transisi’</a>. Artinya, PLTU captive masih dianggap sebagai sektor yang mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon. Nyatanya, pembangkit listrik ini turut <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/pltu-captive-menahan-laju-transisi-energi-indonesia">menghasilkan emisi dan menyebabkan pencemaran</a>, terutama di daerah pengolahan bahan tambang.



Menggenjot pendanaan iklim, mengembangkan energi terbarukan



Sejauh ini komitmen pengembangan energi terbarukan pemerintah belum tercermin dalam kebijakan yang ambisius. Alih-alih hanya membuat pernyataan pendukung, pemerintah bisa menunjukkan komitmennya lewat pembuatan regulasi-regulasi yang mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan.



Jika komitmen pemerintah benar-benar kuat, ada banyak <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/mencari-alternatif-sumber-dana-untuk-pensiun-dini-pltu">alternatif pembiayaan</a> yang bisa digunakan. Misalnya, mengalihkan dana subsidi untuk mendorong energi terbarukan. Jika masih sulit, pemerintah bisa meningkatkan biaya pungutan untuk produksi batu bara.&nbsp;



Peningkatan investasi juga bisa dilakukan secara tak langsung, yakni dengan mendorong pengakhiran PLTU lebih cepat. Pemerintah memang sudah membuat peta jalan pengakhiran PLTU, tapi masih memerlukan kejelasan waktu dan unit pembangkit yang diakhiri.



Editor: Robby Irfany Maqoma

Setali Tiga Uang Pemerintah dan Swasta: Berat Hati Danai Mitigasi Iklim

Dua puluh lima tahun lagi, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah harus menggunakan <a href="https://desdm.ntbprov.go.id/dokumen_file/NTB%20Energy%20Masterplan%20Propelling%20West%20Nusa%20Tenggara%20to%20Lead%20Indonesia%E2%80%99s%20Energy%20Transition.pdf">100%</a> energi terbarukan. Target ini lebih ambisius dibanding target nasional, yakni <a href="https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-rencana-umum-energi-nasional-ruen.pdf">31%</a> pada 2050.&nbsp;



Gerakan progresif lain juga datang dari Nusa Tenggara Timur (NTT), yang telah memasukkan unsur GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion) melalui <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/282486/pergub-prov-nusa-tenggara-barat-no-13-tahun-2">Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 13 tahun 2024</a>.&nbsp;



Gerak cepat ini didasari banyaknya potensi energi terbarukan seperti air, angin, dan surya&nbsp; di NTB dan NTT, selain juga karena faktor topografi yang mendukung. Kabupaten Lombok yang mayoritas berbukit dan berlereng, misalnya, memungkinkan daerah ini memiliki debit air yang stabil—cocok dibangun pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH).



Meski demikian, akademisi dan warga komunitas desa mengemukakan tantangan pelibatan perempuan dalam pengembangan energi terbarukan pada acara bertajuk “Memotret Keadilan Transisi Energi Indonesia” yang diadakan sekelompok organisasi masyarakat sipil di Mataram, 28-30 April 2025.&nbsp;



Menurut Fahrunnisa, Dosen FISIPOL Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) yang juga perwakilan dari GEDSI Just Energy Transition (JET) NTB, adanya mandat GEDSI dalam Pergub 13/2024 bisa menjadi peluang untuk lebih melibatkan perempuan dan warga.&nbsp;



“Ini dapat menjadi momentum untuk mengadvokasi bagaimana warga lokal terlibat dan bagaimana mengadvokasi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) kabupaten, yang selama ini belum tersentuh. Padahal, langkah ini paling strategis,” ujar Fahrunnisa.



Pasalnya, Nisa bercerita, saat ini pun perempuan di Pulau Sumbawa, NTB, masih mengalami kesulitan mengakses energi untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya gas LPG untuk memasak. “Satu orang biasanya hanya mendapat satu (LPG) untuk satu minggu, dan harus membawa KTP. UMR di Sumbawa lebih rendah dibanding provinsi, sekitar 2 juta rupiah. Untuk memasak, mereka harus mengantri seminggu sekali. Inilah mengapa perempuan menjadi penting di dalam transisi energi,” kata Fahrunnisa.



Sementara itu, Lusia Carli Bunga, Project Manager lembaga Circle Imagine Society (CIS) Timor, memaparkan bagaimana perempuan di desa masih sulit mengkomunikasikan kebutuhan energinya. Padahal, perempuan adalah kelompok paling terdampak.



“Ketika bicara energi, sering kali laki-laki yang mengambil keputusan dalam kebijakan. Perempuan di desa-desa tanpa sadar selalu bilang ‘kami tidak mengerti apa itu energi’. Padahal, memasak butuh energi. (Mendapat) air juga butuh energi. Perempuan selama ini mengambil air dengan berjalan berkilo-kilo meter,” ujar Lusia yang juga merupakan perwakilan Pokja Perubahan Iklim Provinsi NTT.



Ia juga menekankan bahwa kini masih ada ketimpangan distribusi pengetahuan antara laki-laki dan perempuan. Pengetahuan menjadi penting, karena berkat pengetahuan tentang transisi energi, perempuan bisa mengadvokasikan kebutuhannya.



Pernyataan Nisa juga dibenarkan oleh Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Mikewati Vera Tangka. Ia mengamati bahwa selama ini perempuan hanya sebatas ‘konsumen’ dalam diskursus transisi energi.&nbsp;



“Ketika antre gas melon, perempuan yang jadi korbannya. Ketika perempuan mau mengganti energi alternatif, tidak muncul narasinya. Ini dikarenakan paradigma media atau penyedia edukasi masih menganggap bahwa ‘energi’ bukan pengetahuan perempuan, melainkan pemerintah,” ungkap Mike.



Pertemuan ini juga menekankan peran krusial perempuan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas, terutama karena mereka sering menjadi pengguna, pengelola, kelompok paling terdampak, dan bahkan agen perubahan di tingkat rumah tangga dan desa.



Oleh karenanya, Mouna Wasef, Kepala Divisi Riset dan Advokasi Publish What You Pay (PWYP), juga mendorong energi terbarukan berbasis komunitas. Sebab, masing-masing daerah memiliki potensi dan karakteristik budaya serta topografi yang berbeda.



“Harus ada perubahan paradigma. Untuk mengaliri 100% listrik, harus ada pemetaan potensi daerah untuk membangun energi terbarukan berbasis komunitas. Kami ingin ada perubahan dalam UU Ketenagalistrikan agar tidak tersentralisasi lagi. Kita juga bisa mendorong ini di RUEN (Rencana Umum Energi Nasional),” tegas Mouna.



Pernyataan Mouna ada benarnya. Menurut kajian lembaga think-tank <a href="https://celios.co.id/wp-content/uploads/2024/12/Peluang_dan_Tantangan_Pendanaan_energi_terbarukan_Berbasis_Komunitas_compressed_aa222bb374.pdf">Center of Economic and Law Studies (CELIOS)</a>, energi terbarukan berbasis komunitas yang dikembangkan secara serius berpotensi menghasilkan dampak ekonomi hingga Rp18,6 ribu triliun dan mengangkat 16 juta penduduk dari kemiskinan pada 25 tahun ke depan. Angka ini berasal dari potensi penyerapan tenaga kerja untuk pemasangan dan perawatan fasilitas pembangkit listrik, hasil produksi industri lokal, hingga sektor manufaktur kecil hingga menengah karena pengembangan energi terbarukan di desa-desa.&nbsp;



Mouna juga kembali mengingatkan pentingnya mencari sumber pendanaan alternatif selain dari APBN. Sebab, energi terbarukan dan pemerataan aliran listrik tidak dapat terjadi tanpa adanya pendanaan masif.&nbsp;



“Masalah utama yang menghambat dalam pengembangan energi terbarukan itu uang. Pemerintah perlu mencari sumber alternatif baru. Ada skema yang bisa dikenakan seperti windfall profit tax, sehingga ketika harga mineralnya tinggi, keuntungan bisa digunakan untuk dana hijau. Pajak kekayaan juga bisa dikenakan, sebab orang kaya menyumbang emisi besar,” tutup Mouna.



Editor: Robby Irfany Maqoma

Suara Perempuan dalam Transisi Energi: Pentingnya Membangun Energi Berbasis Komunitas

Awal April lalu, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Melkiades Laka Lena mengumumkan <a href="https://floresa.co/reportase/peristiwa/73646/2025/04/10/warga-ntt-diaspora-apresiasi-gubernur-yang-respons-penolakan-warga-dan-gereja-terhadap-proyek-geotermal">penundaan</a> proyek-proyek panas bumi di wilayahnya. Penundaan berhulu dari berbagai penolakan masyarakat setempat&nbsp; karena proyek panas bumi menimbulkan berbagai masalah.



Salah satu contohnya adalah area eksplorasi panas bumi Wae Sano <a href="https://floresa.co/reportase/mendalam/71465/2025/01/23/perusahaan-klaim-akan-lanjutkan-pengerjaan-proyek-geotermal-wae-sano-warga-nyatakan-tetap-menolak">di Manggarai Barat</a> yang tumpang tindih dengan kawasan hutan adat, serta beririsan dengan area pertanian warga. Ada pula proyek pengeboran panas bumi lanjutan di Poco Leok, Manggarai, untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang ditolak habis-habisan oleh masyarakat hingga berujung <a href="https://www.walhi.or.id/poco-leok-kembali-memanas-tarik-mundur-aparat-hentikan-intimidasi-dan-kekerasan-pada-warga-poco-leok-dan-jurnalis">kekerasan dan kriminalisasi</a>.



Kekerasan dan kriminalisasi juga dialami warga Salingka Gunung Talang, Sumatra Barat, akibat memprotes pembangunan <a href="https://www.pasbana.com/2018/04/sidang-perdana-pejuang-gunung-talang.html">PLTP Gunung Talang</a>. Proyek ini bahkan telah ditolak oleh <a href="https://kalsel.antaranews.com/berita/94248/perempuan-sang-martir-untuk-lingkungannya">17 nagari (desa)</a> di sekitar wilayah tersebut.



Menurut <a href="https://celios.co.id/geothermal-dampak-ekonomi-dan-lingkungan-celiosx-walhi/">kajian</a> Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), masifnya penolakan berakar dari masalah sentralisasi kebijakan pengembangan energi panas bumi. Ditambah lagi, perumusan kebijakan ini kerap tak melibatkan masyarakat sehingga acap berbenturan dengan aspek sosial, lingkungan, dan perekonomian setempat.&nbsp;



Panas bumi akan menjadi salah satu andalan transisi energi pemerintah. <a href="https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/2f251-rukn-2024.pdf">Rencana ketenagalistrikan</a> terbaru menargetkan sumbangan setrum dari PLTP pada 2060 akan meningkat ke angka 22,7 gigawatt (GW)—hampir sembilan kali lipat dibandingkan pada 2023 sebesar 2,6 GW.&nbsp;



Penambahan terbesar akan berada di Sumatra dengan proyeksi kapasitas PLTP sebesar 9,5 GW, disusul dengan Jawa 8,4 GW, Sulawesi 3,0 GW, dan Maluku Papua Nusa Tenggara 1,7 GW.&nbsp;



Tanpa perubahan wajah sentralistis pengembangan panas bumi, target pemerintah justru menabur lebih banyak benih masalah transisi energi di kemudian hari.&nbsp;



Terpusat di segala lini



<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Download/28012/UU%20Nomor%2021%20Tahun%202014.pdf">Undang Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi</a> memberikan kewenangan sangat besar bagi pemerintah pusat di segala kegiatan terkait panas bumi, terutama yang berskala besar untuk kebutuhan pembangkitan listrik.&nbsp;



Aturan ini, misalnya, hanya memberikan kewenangan pelaksanaan eksplorasi ataupun pencarian cadangan uap panas di perut Bumi kepada pemerintah pusat. Eksplorasi merupakan tahap krusial untuk menilai seberapa layak sumber daya geotermal untuk memproduksi setrum.



Selanjutnya, UU tersebut menegaskan prioritas utama pemanfaatan panas bumi adalah untuk pembangkit listrik. Kewenangan pemberian izin ini hanya berada di pemerintah pusat.



Pemerintah daerah hanya berwenang memberikan izin pemanfaatan langsung, seperti untuk kebutuhan pengolahan hasil pertanian dan pariwisata. Namun, pemanfaatan ini menjadi prioritas kedua setelah pembangkitan listrik.



Sentralisasi ini pada akhirnya berhilir pada penunjukan badan usaha, termasuk perusahaan negara (yang mendapat keistimewaan mengelola wilayah kerja panas bumi (WKP) secara langsung), yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.&nbsp;&nbsp;&nbsp;



Pasal 5 UU Panas Bumi juga memberikan kewenangan pemerintah merelakan kawasan konservasi dan hutan lindung—yang penting bagi lingkungan dan masyarakat—untuk kebutuhan panas bumi. Padahal, kawasan konservasi amatlah penting untuk menjaga laju kehilangan biodiversitas yang sudah berada <a href="https://unfccc.int/news/what-is-the-triple-planetary-crisis">di tahap krisis</a>. Sementara, hutan lindung merupakan ‘benteng penjaga’ suatu daerah dari ancaman bencana, seperti banjir dan longsor yang semakin intens dan sering akibat krisis iklim.



UU ini kemudian berbuah berbagai kebijakan turunan yang kian mengabaikan aspirasi masyarakat. Lihat saja status pulau Flores sebagai “Pulau Panas Bumi” pada 2017 yang justru ditetapkan oleh <a href="https://jdih.esdm.go.id/common/dokumen-external/Kepmen-esdm-2268%20Th%202017.pdf">Menteri Energi dan Sumber Daya mineral</a>. Dalam keputusan ini, pemerintah NTT dan otoritas kabupaten/kota terkait hanya berperan sebagai “pendukung” pelaksanaan kebijakan.&nbsp;



Diperparah kebijakan listrik



Corak sentralistik UU Panas Bumi tak muncul dari ruang hampa. Ia tak lepas dari kebijakan ketenagalistrikan Indonesia yang juga terpusat.



Contohnya, Kementerian ESDM berhak merencanakan pengembangan listrik di seluruh Indonesia selama kurun waktu tertentu melalui <a href="https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/2f251-rukn-2024.pdf">Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN)</a>. Pemerintah daerah sebenarnya memiliki kewenangan perencanaan serupa, tapi sekadar menjadi kebijakan turunan RUKN.



Pola yang sama juga terlihat dalam <a href="https://jdih.esdm.go.id/dokumen/view?id=2567">Peta Jalan Transisi Energi</a> Sektor Ketenagalistrikan yang baru saja diluncurkan pemerintah. Dokumen ini bahkan tidak menyebutkan kewenangan daerah maupun masyarakat dalam mengusulkan energi terbarukan terbaik untuk menggantikan energi fosil di daerah masing-masing.&nbsp;&nbsp;



Kebijakan PT PLN, perusahaan negara yang memonopoli sektor ketenagalistrikan, dirumuskan dengan cara senada. Dalam <a href="https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/38622-ruptl-pln-2021-2030.pdf">perencanaan usaha</a>nya, PLN menandai 120 area yang potensial dari Aceh hingga Maluku untuk pembangunan PLTP. Namun, dokumen ini tidak menyebutkan sejauh mana perencanaan ini berasal dari kebutuhan masyarakat setempat.



<figure class="wp-block-image"><img src="https://miro.medium.com/v2/resize:fit:1280/format:webp/1*qVlXx9abRmF5n0BXKwpldw.png" alt=""/></figure>



(Sumber: ESDM)



Dampak meluas



Nuansa sentralisasi dalam pengembangan energi panas bumi memiliki dampak besar. <a href="https://kumparan.com/kumparanbisnis/riset-celios-15-pembangkit-listrik-tenaga-panas-bumi-di-indonesia-bermasalah-23XhrBAmqvc/1">Kajian CELIOS bersama Walhi</a> mendapati mayoritas (15 proyek PLTP) dari total 18 proyek PLTP di Indonesia justru bermasalah.



Pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sorik Marapi di Sumatra Utara, misalnya, menyebabkan <a href="https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/02/23/101-warga-mandailing-keracunan-gas-pltp-sorik-marapi-geothermal-power">101 orang keracunan</a>, bahkan—di kasus yang berbeda—menelan lima korban jiwa.&nbsp;



<a href="https://celios.co.id/wp-content/uploads/2024/12/ID_CELIOS_x_WALHI_Geothermal_2024_c69cfb899d.pdf">Kajian </a>tersebut juga menaksir pembangunan PLTP tidak membawa kesejahteraan bagi perekonomian masyarakat. Di Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu, PLTP justru menurunkan output perekonomian hingga Rp1,09 triliun selama 15 tahun masa operasional PLTP.&nbsp;



Adapun kerugian ini terjadi karena penyedotan panas bumi berisiko mencemari sumber air dan tanah. Akibatnya, aktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan masyarakat setempat dapat terganggu.



Lokasi kebanyakan wilayah panas bumi yang berada di area berhutan juga menciptakan risiko lingkungan. Misalnya, kajian <a href="http://dx.doi.org/10.13140/RG.2.2.17426.61126">Meijaard dan Dennis (2019)</a> menaksir, setiap 100 MW penambahan kapasitas panas bumi di Indonesia akan menciptakan area yang terdampak rata-rata sebesar 10 km2 (sekitar seribu hektare). Dampak ini bisa terjadi baik secara langsung karena pembangkit, jaringan pipa, serta jalan, maupun tidak langsung seperti perambahan lahan ataupun perburuan liar karena akses yang terbuka.&nbsp;



Sepintas angka ini mungkin tidak besar. Namun, dengan asumsi penambahan kapasitas panas bumi hingga 22,7 GW (sekitar 22.700 MW) benar-benar terjadi, akan ada area terdampak sebesar 2,27 juta ha pada 2060. Angka tersebut 11 kali lipat lebih besar daripada kehilangan hutan Indonesia akibat pertambangan selama 2000-2019 sebesar <a href="https://www.pnas.org/doi/10.1073/pnas.2118273119">190,1 ribu ha</a>.



Jika perhitungan ini benar, kebenaran klaim bahwa panas bumi sebagai energi ramah lingkungan jelas patut kita pertanyakan.



Membalikkan keadaan



Pemerintah tak bisa menutup mata bahwa kebijakan terpusat dalam pengembangan panas bumi selama ini menciptakan banyak masalah. Selain menyalahi <a href="https://www.undp.org/energy/publications/8-core-principles-just-energy-transformation">prinsip berkeadilan</a> dalam transisi energi, beraneka persoalan ini justru menciptakan risiko investasi tersendiri. Akibatnya dapat menyandera pemenuhan target transisi energi terbarukan, hingga memperburuk iklim investasi hijau Indonesia.



Energi panas bumi memang minim emisi, tapi bukan berarti pemanfaatannya harus dilakukan secara besar-besaran dan at all cost (mengorbankan segalanya).&nbsp;



Sumber daya panas bumi juga tak harus disedot hanya untuk pembangkit listrik. Sebaliknya, pemerintah dapat mengharmoniskan pemanfaatan panas bumi di suatu area untuk berbagai kebutuhan, seperti pertanian dan pariwisata, yang sesuai potensi serta aspirasi daerah setempat.&nbsp;&nbsp;



Praktik multimanfaat panas bumi ini sudah diterapkan di Jepang. Melalui kebijakan pemanfaatan geotermal yang <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/186810341503400102">terdesentralisasi</a>, banyak daerah di Jepang yang mengembangkan proyek panas bumi berskala kecil dan menggabungkannya dengan wisata pemandian air panas. Pembangkit ini bahkan dibangun oleh industri pemandian sehingga dapat lebih <a href="https://www.thinkgeoenergy.com/small-scale-geothermal-power-plants-in-japan-pave-way-for-bigger-plants/">diterima oleh masyarakat lokal</a>. Akhirnya ketergantungan daerah setempat terhadap listrik tenaga gas maupun nuklir bisa berkurang.



Pemerintah juga perlu melibatkan masyarakat secara aktif, bahkan masyarakat adat, untuk mengembangkan panas bumi di daerah masing-masing. Kita dapat mencontoh keterlibatan masyarakat Maori yang mengantongi 35% kepemilikan <a href="https://media.business-humanrights.org/media/documents/2024_Shared_prosperity_report_EN.pdf">PLTP North Tauhara II</a> di Selandia Baru melalui lembaga pengelolaan dana mereka, Tauhara Maori Trust.



Bisnis usaha panas bumi merupakan kegiatan ramah lingkungan yang berpotensi tinggi memperoleh pendanaan hijau. Terbukti beberapa lembaga pembiayaan multilateral seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), hingga bank pembangunan asal Jerman (Kreditanstalt für Wiederaufbau/KfW) sudah terlibat dalam beberapa proyek geotermal Indonesia. Perubahan tata kelola panas bumi yang partisipatif dan terdesentralisasi berpeluang besar mendorong pembiayaan internasional yang lebih besar lagi.&nbsp;

Merombak corak sentralistis panas bumi Indonesia

International Energy Agency (IEA) mendeklarasikan 2024 sebagai <a href="https://www.iea.org/reports/world-energy-outlook-2024/overview-and-key-findings">The Age of Electricity–</a>era ketika sektor listrik mendominasi permintaan energi dunia.&nbsp;



Dari kencangnya suplai listrik ini, energi terbarukan memimpin penambahan pembangkit listrik dan mampu memenuhi tingginya permintaan global dengan cepat. Kapasitas pembangkit listrik tenaga surya tumbuh hingga 1.100 Gigawatt (GW) per tahun atau hampir tiga kali lipat dibanding 2023.



Sayangnya, di tengah tren positif transisi energi, pemerintah Indonesia justru ‘melawan arus’ alias masih gemar mempromosikan energi fosil seperti batu bara. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bahkan tanpa malu-malu <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250212134146-85-1197413/bahlil-soal-batu-bara-kita-pikir-selesai-eh-bernyawa-lagi-barang-ini">meyakinkan investor</a> bahwa sektor batu bara masih berpeluang cuan setidaknya sampai satu dekade ke depan.&nbsp;



Bahlil juga memastikan PLTU batu bara masih akan menjadi <a href="https://industri.kontan.co.id/news/pensiun-dini-pltu-tak-masuk-dalam-ruptl-2025-2034-bauran-fosil-masih-tinggi">penopang utama</a> kelistrikan yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034. Sampai sekarang, RUPTL pun belum diterbitkan juga meski sudah melampaui tenggat. Langkah ini menunjukkan komitmen setengah hati pemerintah untuk mencapai target mengurangi emisi hingga 43% pada 2030 dalam <a href="https://kanalkomunikasi.pskl.menlhk.go.id/tag/enhanced-nationally-determined-contributions-endc/">Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC)</a>.



Mesranya Indonesia dengan batu bara



Ketergantungan Indonesia pada batu bara ditampilkan dalam potret kapasitas PLTU captive yang melonjak tajam pada 2024. Ketika jumlah PLTU yang diusulkan merosot tajam, total PLTU yang beroperasi justru melaju pesat.&nbsp;



Riset Global Energy Monitor (<a href="https://globalenergymonitor.org/wp-content/uploads/2025/04/Boom-and-Bust-Coal-2025-Indonesian.pdf">GEM</a>) mengungkapkan PLTU captive menyumbang lebih dari 80% dari tambahan kapasitas baru sebesar 1,9 GW di Indonesia. Selain itu, tambahan kapasitas batu bara sebesar 1,1 GW mulai dibangun pada 2024, dan seluruhnya untuk penggunaan captive.



<figure class="wp-block-image size-large"><img src="https://cms.transisienergiberkeadilan.id/wp-content/uploads/2025/04/Screenshot-2025-04-26-at-23.25.48-1024x745.png" alt="" class="wp-image-1743"/></figure>



(Infografis: Irene Meriska Esterlita)



Padahal, pemerintah Indonesia sempat memberikan sinyal positif komitmen menutup PLTU lewat Peraturan Presiden <a href="https://umbra.law/wp-content/uploads/2022/09/Client-Alert-Presidential-Regulation-on-Renewable-Energy-Development.pdf">112/2022</a>. Aturan ini dirancang untuk menghentikan pembangunan PLTU baru setelah 2022 dan menetapkan target penghentian batu bara nasional pada 2050. Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 berkapasitas 650 MW juga telah diteken lewat <a href="https://listrikindonesia.com/detail/16353/sah-menteri-esdm-teken-pensiun-dini-pltu-cirebon-i">Peraturan Menteri ESDM 10/2025</a>.



Sayangnya, masih ada pengecualian terhadap PLTU captive diberikan dengan alasan mendukung kegiatan strategis nasional dan industri “bernilai tambah”.



Pembangunan PLTU captive satu tahun terakhir berpusat pada industri nikel yang mencapai <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/pltu-captive-menahan-laju-transisi-energi-indonesia">76% dari total kapasitas</a>. Tidak berhenti di sini, angka-angka ini masih akan terus bertumbuh hingga 2026 mendatang.



Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional terbaru juga secara tegas <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/bahaya-besar-di-balik-rencana-umum-ketenagalistrikan-nasional">tidak mengakomodasi pensiun dini PLTU</a> dan memilih strategi pengurangan kontribusi batu bara secara bertahap (phase down). Pensiun dini baru akan dilakukan jika “tersedia bantuan internasional, tidak menaikkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik, dan tidak mengganggu keandalan sistem tenaga listrik.”



<figure class="wp-block-image size-large is-resized"><img src="https://cms.transisienergiberkeadilan.id/wp-content/uploads/2025/04/Screenshot-2025-04-26-at-23.24.28-1024x762.png" alt="" class="wp-image-1741" width="650" height="483"/></figure>



(Infografis: Irene Meriska Esterlita)



Rumput hijau tetangga



Dibandingkan dengan sesama negara Asia Tenggara, laju transisi energi Indonesia sangat lambat. Terbukti dengan komitmen seluruh negara tetangga yang tidak memiliki tambahan PLTU batu bara sama sekali dalam rentang setahun. Sejak 2016, jumlah proyek PLTU yang dihentikan sukses melampaui proposal PLTU baru setiap tahunnya di seluruh negara Asia Tenggara, kecuali Indonesia.



<a href="https://globalenergymonitor.org/wp-content/uploads/2025/04/Boom-and-Bust-Coal-2025-Indonesian.pdf">Secara global</a>, Inggris sudah menutup pembangkit listrik batu bara terakhir dan menjadi negara G7 pertama yang menghentikan penggunaan batu bara sejak Perjanjian Paris 2015. Uni Eropa (EU) juga menghentikan penggunaan batu bara empat kali lipat lebih banyak dibanding 2023. Kapasitas yang dihentikan berlipat dari 2,3 GW menjadi 11 GW, dengan Jerman menjadi penyumbang terbesar (6,7 GW).&nbsp;



Setidaknya 60 negara telah mengurangi rencana pembangunan PLTU batu bara sejak Perjanjian Paris. Negara-negara pengguna batu bara terbesar di dunia seperti <a href="https://www.carbonbrief.org/analysis-nearly-60-countries-have-dramatically-cut-plans-to-build-coal-plants-since-2015/">Turki, Vietnam, dan Jepang</a> memangkas hingga 98% jaringan PLTU batu bara mereka.&nbsp;



Lebih ambisius lagi, 35 negara juga 100% menghilangkan rencana pembangunan PLTU batu bara dalam satu dekade terakhir seperti Korea Selatan dan Jerman. Meski termasuk dalam 10 besar konsumen batu bara dunia, pemerintah Jerman berkomitmen <a href="https://interactive.carbonbrief.org/the-carbon-brief-profile-germany/index.html">menghentikan penggunaan batu bara</a> pada akhir 2030-an.



Sekawan melawan arus transisi energi



Tidak hanya Indonesia, beberapa negara besar juga melawan arus transisi energi dunia. Amerika Serikat misalnya ‘hanya’ menghentikan PLTU batu bara dengan kapasitas <a href="https://globalenergymonitor.org/wp-content/uploads/2025/04/Boom-and-Bust-Coal-2025-Indonesian.pdf">4,7 GW atau level terendah sejak 2015</a>.



Beberapa perusahaan listrik seperti PacifiCorp, Duke Energy, dan Georgia Power menunda–bahkan membatalkan rencana pensiun dini PLTU batu bara. Padahal rencananya hampir setengah dari kapasitas PLTU yang tersisa di AS akan dihentikan pada 2035. Di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, pemerintah AS semakin enggan untuk menutup PLTU mereka.



Selain itu, GEM juga menyebutkan ada sepuluh negara yang berkontribusi terhadap 96% pertumbuhan PLTU batu bara sepanjang 2024. Selain Indonesia, negara lainnya adalah China, India,, Bangladesh, Russia, Zimbabwe, Kazakhstan, Vietnam, Laos, dan Filipina.&nbsp;



<figure class="wp-block-image size-large"><img src="https://cms.transisienergiberkeadilan.id/wp-content/uploads/2025/04/Screenshot-2025-04-26-at-23.25.20-1024x766.png" alt="" class="wp-image-1742"/></figure>



(Infografis: Irene Meriska Esterlita)



Kawan baik batu bara Indonesia



Produksi tahunan batu bara di Indonesia semakin meningkat tajam. Kementerian ESDM mencatat rekor produksi sebesar <a href="https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-laporan-kinerja-ditjen-mineral-dan-batubara-tahun-2024.pdf">836 juta ton</a> atau 17% lebih besar dari target tahun 2024.&nbsp;



Selaras dengan meningkatnya produksi, konsumsi batu bara dalam negeri juga meningkat menjadi 232 juta ton atau 128% dari target. Sementara sisanya (melebihi 50%) produksi batu bara diekspor untuk memenuhi <a href="https://chinaglobalsouth.com/2025/01/15/indonesias-coal-production-hits-record-in-2024-with-china-driving-the-growth/">permintaan Cina</a> dan negara Asia Tenggara lain.



Bahkan, sepanjang 2023, Indonesia menjadi pemasok utama kebutuhan batu bara <a href="https://thecoalhub.com/coal-imports-indonesia-is-still-the-top-supplier-of-coal-to-china.html">Cina sebesar </a>sebesar 205 juta ton atau sekitar <a href="https://thecoalhub.com/coal-imports-indonesia-is-still-the-top-supplier-of-coal-to-china.html">55%</a> dari total impor Negeri Panda. Bagi Cina, impor ini menjadi rekor setelah 2021 dengan jumlah hanya 193 juta ton. Laporan <a href="https://thecoalhub.com/chinas-coal-imports-2.html">CoalHub</a> 2024 juga menunjukkan tren serupa, impor dari Indonesia sepanjang Januari-Oktober saja sudah mencapai 185 juta ton.&nbsp;



Selain Cina, Indonesia juga mengirim sebagian besar batu bara ke India. Mencapai <a href="https://www.statista.com/statistics/1237506/coal-import-share-india-by-country/">56% dari total impor</a> India, jumlah batu bara yang dikirimkan <a href="https://www.hellenicshippingnews.com/dry-bulk-shipping-indias-coal-imports-slowed-down-in-2024/">103 juta ton</a> sepanjang 2024. Kedua negara ini menjadi penyumbang <a href="https://www.carbonbrief.org/analysis-nearly-60-countries-have-dramatically-cut-plans-to-build-coal-plants-since-2015/">92% dari kapasitas PLTU</a> batu bara baru yang diusulkan secara global pada 2024.



Tren keuangan global mendorong transisi energi



Sepanjang tahun lalu, <a href="https://coalpolicytool.org">46% dari 318 lembaga keuangan</a> besar memiliki setidaknya kebijakan dasar terkait pendanaan terhadap batu bara. Terdapat tambahan 22 lembaga keuangan yang mengambil langkah kebijakan tegas terhadap batu bara. Mereka tergabung dalam Reclaim Finance Coal Policy Tracker.



Delapan bank besar yaitu HSBC, Standard Chartered, DBS, UOB, OCBC, Mizuho, ​​SMBC, dan QNB menambahkan beragam ketentuan yang membatasi kebijakan investasi batu bara. Artinya, ada peluang mereka akan menghentikan investasi pada industri batu bara.&nbsp;



Standard Chartered dengan tegas juga telah <a href="https://trendasia.org/en/major-uk-bank-cuts-ties-with-indonesian-mega-coal-producer/">menghentikan pendanaannya pada PT Adaro Indonesia</a>, produser terbesar kedua batu bara di Indonesia. Langkah ini diambil pada 2022 karena Adaro ‘bergantung 100% pada produksi batu bara’. Pada tahun yang sama, <a href="https://news.mongabay.com/2022/10/indonesian-banks-prop-up-coal-industry-increasingly-shunned-by-outside-lenders/">DBS juga berhenti mendanai Adaro</a> sebagai bentuk komitmen mengatasi krisis iklim. DBS juga menargetkan akan berhenti sepenuhnya mendanai perusahaan batu bara lain per 2039.&nbsp;



Hal serupa dilakukan oleh bank-bank raksasa di Eropa. Bank <a href="https://globalenergymonitor.org/wp-content/uploads/2025/03/Boom-Bust-Coal-2025.pdf">Prancis Société Générale</a> berkomitmen untuk tidak membiayai semua proyek batu bara termasuk pembangunan infrastrukturnya. Bank ini juga enggan menerima klien baru yang mendapatkan penghasilan lebih dari 50% dari ekstraksi batu bara.&nbsp;



Perusahaan asuransi Swiss Zurich juga mengecualikan pembiayaan tambang batu bara di tingkat proyek. Mereka enggan membiayai perusahaan yang melakukan penambangan batu bara. Swiss Zurich menjadi lembaga keuangan pertama di luar Prancis yang membatasi pembiayaan perusahaan batu bara secara menyeluruh.



Meski demikian, bank-bank BUMN seperti BRI, BNI, dan Mandiri masih tidak punya selera untuk mengeluarkan kebijakan pembiayaan terkait batu bara. Mandiri misalnya, sepanjang 2018-2020 mengucurkan US$4,6 miliar atau Rp66 triliun kepada perusahaan batu bara. Tindakan serupa juga dilakukan oleh BRI maupun BNI.&nbsp;



Melihat tren institusi keuangan global yang semakin meninggalkan batu bara seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah yang berkeras mempertahankan energi fosil ini mati-matian. Sikap ‘malas’ menunaikan janji dan komitmen untuk mencapai target net zero emission berisiko membuat Indonesia tertinggal kereta investasi dunia. Ditambah lagi, kerugian lingkungan dan sosial akibat pengerukan batu bara harus ditanggung oleh masyarakat sekitar pertambangan.&nbsp;



Editor: Robby Irfany Maqoma

Potret Indonesia yang ‘Nyaman’ Melawan Arus Transisi Energi

Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenakan bea masuk atau tarif impor terhadap barang-barang dari 90 negara, terutama dari Cina yang terkena tarif tertinggi, membuat<a href="https://www.theguardian.com/business/2025/apr/22/imf-major-negative-shock-trump-tariffs-uk"> ekonomi dunia melemah</a>. Sejumlah analisis bahkan memaparkan kemungkinan resesi global lebih tinggi akibat ulah Trump.



Ketidakpastian ekonomi membuat harga minyak dunia turun. Ekstraksi minyak fosil kemungkinan akan jauh berkurang bahkan hingga tahun depan, menurut proyeksi<a href="https://www.iea.org/reports/oil-market-report-april-2025"> Badan Energi Internasional (IEA)</a>.&nbsp;



Tren ini cukup membuat gerah negara-negara penghasil minyak, termasuk dari kawasan Timur Tengah. Perekonomian mereka <a href="https://www.newarab.com/analysis/how-us-china-trade-war-could-impact-middle-east">sudah terdampak</a> perang dagang. Permintaan minyak yang tidak sebanyak biasanya akan mengguncang keuangan negara-negara di kawasan ini. Arab Saudi, misalnya, mengandalkan <a href="https://tradingeconomics.com/saudi-arabia/exports">70%</a> pendapatan ekspor dan <a href="https://tradingeconomics.com/saudi-arabia/gdp-growth-oil-sector">46% PDB</a>-nya pada minyak.



Ini membuktikan bagaimana bahan bakar fosil seperti minyak dan gas fosil serta batu bara sangatlah fluktuatif terhadap tren ekonomi global. Apalagi biaya produksi kedua komoditas tersebut cukup mahal. Tak sedikit negara-negara Timur Tengah yang menyadarinya lalu menjelajahi peluang bisnis alternatif untuk perlahan menjauhi bisnis minyak dan gas fosil.



Upaya negara Timur Tengah bisa menjadi peluang emas bagi Indonesia yang tengah berjuang mencari investasi untuk menggenjot transisi energi. Memperluas jejaring pendanaan transisi energi—termasuk ke kawasan tersebut—adalah peluang baik untuk segera meninggalkan batu bara.&nbsp;



Putar arah ke Timur Tengah



Negara-negara Teluk atau Timur Tengah juga termasuk kawasan yang rentan terpapar <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0013935122018643">panas ekstrem</a> berkali-kali lipat akibat perubahan iklim.&nbsp;



Situasi ini, selain karena faktor ekonomi, turut memantik mereka gencar berinvestasi pada sektor energi terbarukan, sembari pelan-pelan mundur dari sektor minyak dan gas. Sebanyak <a href="https://www.iea.org/reports/world-energy-investment-2024/middle-east">lima</a> dari 12 negara kawasan juga telah memetakan target emisi nol bersih, meski skornya masih <a href="https://www.natureasia.com/en/nmiddleeast/article/10.1038/nmiddleeast.2024.99">jauh dari cukup</a> untuk meredam laju perubahan iklim secara agresif.



Menurut laporan <a href="https://www.the-eic.com/Portals/0/Website/Documents/Executive-Summary_Middle-East-OPEX-Report-2024.pdf">Energy Industries Council</a> (2024), Timur Tengah diproyeksikan menerima investasi sebesar US$75,63 miliar untuk proyek energi terbarukan hingga 2030.&nbsp; Meski masih didominasi investasi energi fosil karena merupakan kawasan penghasil minyak dan gas, <a href="https://www.iea.org/reports/world-energy-investment-2024/middle-east">International Energy Agency (IEA)</a> menghitung bahwa untuk setiap US$ 1 yang dialokasikan Timur Tengah untuk energi fosil, akan diimbangi dengan 70 sen untuk energi bersih.



Dana kekayaan negara atau Sovereign Wealth Fund (SWF) besar di dunia juga dipegang oleh kawasan penghasil minyak ini—Abu Dhabi Investment Authority (<a href="https://economymiddleeast.com/news/abu-dhabi-investment-authority-joins-elite-club-with-1-trillion-in-assets/?utm_source=chatgpt.com">ADIA</a>), Kuwait Investment Authority (<a href="https://www.zawya.com/en/special-coverage/focus-global-wealth-funds/kuwaits-sovereign-wealth-fund-surpasses-1trln-for-the-first-time-oxcredh2?utm_source=chatgpt.com">KIA</a>), dan Public Investment Fund (<a href="https://saudigazette.com.sa/article/644926?utm_source=chatgpt.com">PIF</a>). Kini, total aset yang dikelola ketiganya mencapai US$ 3 triliun.



<figure class="wp-block-image size-large"><img src="https://cms.transisienergiberkeadilan.id/wp-content/uploads/2025/04/Screenshot-2025-04-24-at-17.48.53-1024x523.png" alt="" class="wp-image-1733"/></figure>



Aset dana kekayaan negara di Timur Tengah di tahun 2024 (Sumber:  Sovereign Wealth Fund melalui CELIOS, 2025).



Angka investasi tersebut telah berdampak pada proyek infrastruktur, inovasi teknologi, dan pembangunan berkelanjutan di dunia. Public Investment Fund, misalnya, menggelontorkan pendanaan sebesar US<a href="https://www.neom.com/en-us/about">$500 miliar</a> (Rp8.427,5 triliun) pada proyek NEOM di Arab Saudi—sebuah megaproyek kota masa depan yang akan menggunakan 100% energi terbarukan.



Dana kekayaan negara di Timur Tengah menjadi angin segar untuk menopang Indonesia yang butuh modal dan teknologi hijau. Investor dari negara kawasan tersebut dapat menyuntikkan modal melalui skema <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/mengenal-blended-finance-untuk-mempercepat-transisi-energi-indonesia">blended finance</a> (pendanaan dari beraneka sumber seperti investasi swasta, hibah, dan lainnya) yang diterapkan Badan Pengelola Investasi Indonesia, Danantara.&nbsp;



Peluang di tengah perang dagang



Indonesia telah lama menjadi kandidat menarik di mata Timur Tengah. Selain karena keduanya merupakan negara dengan mayoritas muslim, kemitraan bisnis Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah juga telah terjalin.&nbsp;



Tengok saja <a href="https://web.pln.co.id/media/siaran-pers/2025/04/pln-dan-masdar-tandatangani-mou-pengembangan-pembangkit-listrik-tenaga-surya-terapung-di-indonesia">kerja sama</a> antara Masdar (perusahaan energi asal Uni Emirat Arab) dan PLN untuk pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata, di Jawa Barat. PLTS seluas 200 hektare dan berkapasitas 192 Megawatt peak ini telah mengalirkan listrik ke lebih dari 50.000 rumah.&nbsp;



Baru-baru ini, Masdar dan PLN juga mengumumkan <a href="https://web.pln.co.id/media/siaran-pers/2025/04/pln-dan-masdar-tandatangani-mou-pengembangan-pembangkit-listrik-tenaga-surya-terapung-di-indonesia">kelanjutan kerja sama</a> proyek penambahan kapasitas di Cirata dan pembangunan unit baru di Jatigede, Jawa Barat.



Dengan daya tawar melimpah seperti energi surya, air, dan angin, Indonesia menjadi wilayah potensial sebagai basis produksi teknologi energi terbarukan di kawasan Global South. Hal ini didukung oleh potensi energi surya yang bisa mencapai lebih dari <a href="https://celios.co.id/wp-content/uploads/2024/12/Peluang_dan_Tantangan_Pendanaan_energi_terbarukan_Berbasis_Komunitas_compressed_aa222bb374.pdf">200 GW</a>, potensi angin di wilayah timur Indonesia, serta ketersediaan sumber daya air yang cocok untuk pembangkit listrik mikrohidro.&nbsp;



Pemerintah hanya tinggal melihat transisi energi sebagai peluang ekonomi, alih-alih sebagai beban fiskal. <a href="https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2023/12/5325e354-policybook-1_compressed.pdf">Greenpeace dan Celios</a> di tahun 2023 telah memperkirakan, kerja sama di sektor energi terbarukan dapat menumbuhkan perekonomian sebesar Rp 4.376 triliun dalam 7 tahun ke depan, serta menyerap sebanyak 19,4 juta tenaga kerja. Hasil ini diperoleh dengan asumsi terdapat suntikan investasi ekonomi hijau sebesar Rp. 1.300 triliun—hanya 15% dari dana yang digelontorkan Public Investment Fund untuk NEOM.



Studi <a href="https://celios.co.id/wp-content/uploads/2025/02/CELIOS-MENA-Alternatif-Investasi-Transisi-Energi-2025.pdf">CELIOS</a> di tahun 2025 juga menyebut, bentuk kerja sama bilateral dengan Timur Tengah bisa dilakukan dengan skema bundling—pemensiunan PLTU batu bara dan dialihkan ke pembangkit EBT baru. Dengan kata lain, investor membeli PLTU tua, kemudian dipensiunkan dini, lalu dialihkan ke proyek PLTS/PLTB baru. Hal ini memungkinkan arus kas proyek EBT dapat menggantikan beban operasional PLTU yang mahal dan tidak berkelanjutan.



Skema lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikan Timur Tengah sebagai investor perumahan dan energi sekaligus. Misalnya, proyek <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20250227/47/1843063/qatar-groundbreaking-proyek-3-juta-rumah-april-2025-ini-lokasinya">3 juta rumah</a> Prabowo dapat di-bundle dengan instalasi panel surya di atapnya.&nbsp;



Indonesia bisa melirik kandidat negara-negara Timur Tengah yang <a href="https://celios.co.id/wp-content/uploads/2025/02/CELIOS-MENA-Alternatif-Investasi-Transisi-Energi-2025.pdf">paling potensial</a> untuk menjalin kerja sama transisi energi, seperti Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Arab Saudi, dan Kuwait.&nbsp;



UEA memiliki rekam jejak kerja sama ekonomi dengan Indonesia sejak 2014—jauh sebelum menjalin kemitraan pembangunan PLTS terapung. Sementara Qatar telah menandatangani MoU pembangunan 1 juta rumah di Indonesia sejak 2025—dapat diperluas lagi dengan melakukan proyek bundling energi. Sementara Arab Saudi dan Kuwait sama-sama memiliki salah satu SWF terbesar di dunia, dengan total aset gabungan mencapai hampir US$ 2 triliun.



Bertahan di tengah turbulensi transisi energi



Dalam mencari pendanaan, Indonesia perlu menjelajahi lebih banyak peluang investasi ke Timur Tengah, alih-alih menunggu langkah negara-negara barat di tengah ketidakpastian ekonomi.&nbsp;



Kerja sama pengelolaan dana bersama senilai <a href="https://katadata.co.id/finansial/bursa/680983c55dd5f/setelah-qatar-pemerintah-sebut-2-investor-asing-tertarik-investasi-di-danantara">US$ 4 miliar</a> (Rp67,5 triliun) oleh Danantara dan Qatar merupakan awal yang baik. Pendanaan ini sepatutnya bisa difokuskan untuk investasi energi terbarukan, mengingat Indonesia membutuhkan sekitar <a href="https://accept.aseanenergy.org/re-investment-series-indonesia/">US$16 miliar hingga 2030</a> untuk menggenjot pengembangan energi tersebut.



Untuk memikat kerja sama dengan SWF Timur Tengah, pemerintah perlu segera memperbaiki tata kelola <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/danantara-untuk-transisi-energi-solusi-atau-celah-korupsi">Danantara</a>—membersihkan investasi energi fosil, menyingkirkan politisi aktif baik dalam manajer operasional maupun dewan penasihat, dan mengikuti prinsip tata kelola, lingkungan, dan sosial (ESG) dalam semua transaksi.



Indonesia juga perlu menyadari kekuatannya dan mulai berbalik arah ke energi terbarukan, dibanding terus menginvestasikan di sektor energi fosil. Ini termasuk menghentikan proyek <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/gasifikasi-batu-bara-investasi-salah-arah-danantara">gasifikasi batu bara</a> yang rencananya akan didanai Danantara tapi dianggap tak ekonomis oleh MIND ID selaku induk perusahaan tambang negara.&nbsp;



Pasokan energi berbasis sumber terbarukan yang tidak terpengaruh fluktuasi harga dan kondisi ekonomi global juga akan membuat ekonomi nasional lebih kokoh.



Namun, sebelum memulai investasi hijau dan meningkatkan standar hijau, pemerintah perlu memberikan kepastian hukum dalam regulasi investasi, mengurangi kebijakan yang tumpang tindih, serta membulatkan kemauan politik untuk segera meninggalkan batu bara.



Editor: Robby Irfany Maqoma

Memanfaatkan Peluang dari Perang Dagang untuk Menggenjot Transisi Energi 

Tren gaya hidup berkelanjutan atau sustainable living semakin meningkat setiap tahun, terlebih setelah pandemi Covid-19 berlangsung. Survei yang dilakukan <a href="https://globescan.wpenginepowered.com/wp-content/uploads/2023/10/GlobeScan_Healthy_and_Sustainable_Living_Highlights_Report_2023-1.pdf">GlobeScan</a> di sejumlah negara, termasuk Indonesia, menunjukkan 71% orang ingin mengurangi dampak negatif yang mereka berikan pada lingkungan.&nbsp;&nbsp;



<figure class="wp-block-image"><img src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXfx9_FZj719XKTgVF8yG9VQ60ODsA_HbozpoJitXDqLOhEzbAkegJh1MYYIaLsiOZ6kuioOW6PV2h86b8zN14M1C7BN7fl-z1NN2Z6FZkEblv7z5-qaOwrXwewKB9Zl2EYkSflM6w?key=wf_wD4RNoF_PqNMcI7jh-CBk" alt=""/></figure>



Sayangnya, peningkatan minat gaya hidup berkelanjutan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan. Tak sedikit dari pihak ini yang mengumbar klaim palsu soal produk ataupun barang ramah lingkungan, padahal sebenarnya tidak (greenwashing).&nbsp;



Istilah “greenwashing” pertama kali muncul dalam esai aktivis lingkungan, Jay Westerveld, yang mengkritik industri perhotelan menggunakan <a href="https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-3-642-28036-8_104">klaim palsu pada 1986</a>. Hotel-hotel tersebut kerap mempromosikan penggunaan kembali handuk sebagai bagian dari strategi ramah lingkungan, padahal niat industri adalah menghemat biaya operasional.



Salah satu jenis greenwashing adalah misinformasi atau menyebarkan informasi yang salah. Lewat penggunaan kata-kata <a href="https://greennetwork.id/unggulan/kenalan-dengan-greenwashing-dan-cara-menghindarinya/">‘alami’, ‘hijau’, atau ‘berkelanjutan’</a> yang tidak didasarkan pada bukti saintifik. Hingga kini, klaim palsu dan misinformasi soal label ‘hijau’ makin banyak dilakukan oleh berbagai perusahaan, termasuk di sektor energi.&nbsp;



Ciri-ciri 'greenwashing' di energi



Sektor energi menghasilkan <a href="https://www.wri.org/insights/4-charts-explain-greenhouse-gas-emissions-countries-and-sectors">75,7%</a> dari total emisi gas rumah kaca dunia pada 2021. Tiga sektor yang paling berpengaruh adalah listrik, transportasi, dan manufaktur.



Pembakaran bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi merupakan penyebab utamanya. Fakta ini menjadi dasar bagi publik—terutama <a href="https://essd.copernicus.org/articles/17/965/2025/essd-17-965-2025-discussion.html">akademisi</a> dan <a href="https://climatenetwork.org/can-event/global-fight-to-end-fossil-fuels/">masyarakat sipil</a>—serta <a href="https://unfccc.int/news/cop28-agreement-signals-beginning-of-the-end-of-the-fossil-fuel-era">Perserikatan Bangsa Bangsa</a> untuk menuntut pemerintah dan perusahaan bahan mengakhiri kegiatan ekstraksi bahan bakar fosil di seluruh dunia.



Namun, tingginya sentimen negatif justru direspons perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil melalui penyebaran informasi bahwa mereka turut berupaya memperbaiki lingkungan dan berkontribusi dalam perubahan iklim.&nbsp;



Kenyataannya, perusahaan energi di <a href="https://theconversation.com/greenwashing-energy-companies-make-false-claims-about-sustainability-they-should-be-held-to-account-202995#:~:text=It%20produced%2073.2%25%20of%20global,practice%20referred%20to%20as%20greenwashing.">55 negara</a> yang ikut berkomitmen pada Perjanjian Paris tidak memiliki niat untuk berusaha menjaga pemanasan global di&nbsp; 1,5°C.&nbsp; Penyelidikan Kongres Amerika Serikat menemukan raksasa minyak seperti Shell, Chevron, dan ExxonMobil hanya berbasa-basi terhadap komitmen tersebut usai menganalisis memo internal mereka. Shell, misalnya, terbukti tidak memiliki rencana untuk beralih ke portofolio emisi bersih dalam 10-20 tahun ke depan.



Raksasa minyak seperti <a href="https://www.voaindonesia.com/a/exxonmobil-kucurkan-investasi-penyimpanan-karbon-dan-pabrik-petrokimia-di-indonesia/7947721.html">ExxonMobil</a> dan <a href="https://katadata.co.id/ekonomi-hijau/ekonomi-sirkular/66ab18476df96/bp-dan-itb-kerja-sama-kembangkan-proyek-ccsccus">BP</a> pula yang ramai-ramai mendukung teknologi carbon capture and storage (CCS) sebagai klaim upaya ‘berkelanjutan’. Padahal, CCS hanya menjadi cara untuk memperpanjang energi fosil alih-alih menuju energi terbarukan.&nbsp;



Rekam jejak proyek CCS di negara-negara lain pun buruk. Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (<a href="https://ieefa.org/resources/carbon-capture-crux-lessons-learned">IEEFA</a>) menunjukkan dari 13 proyek yang diteliti, tujuh berkinerja buruk, dua gagal total, dan satu dihentikan. Salah satu contoh proyek CCS yang berhasil di <a href="https://theconversation.com/carbon-capture-and-storage-inovasi-hijau-atau-sebatas-tong-sampah-karbon-249728">Norwegia pada 1996</a> (memasang CCS pada pembangkit gas) lalu adalah cara untuk menghindari pajak karbon yang tinggi, bukan untuk menangani krisis iklim.&nbsp;



Baca juga: <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/ironi-sawit-dalam-solusi-palsu-transisi-energi">Ironi Sawit dalam Solusi Palsu Transisi Energi</a>



Di Indonesia, salah satu perusahaan tambang batu bara besar <a href="https://adarominerals.id">Adaro</a> ikut mengeluarkan klaim ‘smelter hijau’ untuk rencana pembangunan pabrik peleburan (smelter) aluminium di Kawasan Industri Kalimantan Utara (KIPI). Padahal, pembangunan smelter tersebut akan dibarengi dengan <a href="https://news.mongabay.com/2023/06/indonesian-coal-giant-adaros-sustainable-smelter-slammed-as-greenwashing/#:~:text=Adaro%20is%20marketing%20the%20smelter,clear%20of%20fossil%20fuel%20projects.">pembangunan PLTU captive</a> (di luar jaringan PLN).&nbsp;



Penggunaan energi terbarukan untuk menyalakan tungku smelter aluminium ini baru dilaksanakan pada 2030. Adaro beralasan masih membutuhkan PLTU batu bara untuk awal operasional.



Tidak hanya perusahaan, pemerintah Indonesia pun ikut-ikutan melakukan greenwashing lewat kebijakan. Contohnya adalah revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang memasukkan biomassa kayu sebagai energi terbarukan. Tujuannya untuk meningkatkan bauran energi terbarukan yang masih rendah dan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20250131180048-4-607106/bauran-energi-terbarukan-ri-baru-14-esdm-ungkap-penyebabnya">jauh dari target</a>.&nbsp;



Padahal, riset <a href="https://trendasia.org/revisi-ken-greenwashing-biomassa-kayu-menyubsidi-perusakan-lingkungan/">TrendAsia</a> menunjukkan biomassa kayu berpotensi mengakibatkan deforestasi hingga 1 juta hektare. Lebih jauh, deforestasi tersebut akan menghasilkan gas rumah kaca (GRK) hingga 26,4 juta ton emisi karbon. Untuk memenuhi kebutuhan co-firing 10% di seluruh PLTU Indonesia, kebutuhan lahan dapat mencapai 2,3 juta hektare atau 35 kali luas DKI Jakarta.&nbsp;



Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dapat dianggap berkontribusi pada upaya greenwashing sektor energi melalui Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Sistem klasifikasi jenis usaha dalam TKBI kini tidak lagi ditandai lewat kategori “merah, kuning, hijau” melainkan “hijau dan transisi”. Jenis transisi ini dapat mencakup usaha yang tidak berkelanjutan—bahkan terkait pembakaran bahan bakar fosil pun—selama berkomitmen mengurangi emisi dalam kegiatannya.&nbsp;



Baca juga: <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/membedah-klaim-bahlil-soal-sulitnya-transisi-energi-sesuai-perjanjian-paris">Membedah Klaim Bahlil Soal Sulitnya Transisi Energi Sesuai Perjanjian Paris</a>&nbsp;



<a href="https://www.tuk.or.id/2024/03/klasifikasi-hijau-dan-transisi-dalam-taksonomi-ojk-sebuah-kemunduran/">TuK Indonesia</a> menilai perubahan klasifikasi ini sebuah kemunduran bagi usaha mendorong praktik bisnis yang bertanggung jawab. Sebab, kategori “transisi” dapat mengaburkan risiko dan tanggung jawab pemilik usaha.



TKBI pun memasukkan PLTU captive yang notabene masih menggunakan batu bara ke dalam kategori <a href="https://hijau.bisnis.com/read/20240221/653/1743032/pltu-batu-bara-dapat-label-kuning-dalam-revisi-taksonomi-hijau.">‘transisi’</a>. Artinya, PLTU captive masih dianggap sebagai sektor yang mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon. Meskipun, pembangkit listrik ini turut <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/pltu-captive-menahan-laju-transisi-energi-indonesia">menghasilkan emisi dan menyebabkan pencemaran</a>, terutama di daerah pengolahan bahan tambang.



Menjaga makna “hijau” sebenarnya



Hari Bumi semestinya menjadi momen penting untuk kembali mengingatkan dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan. 



Upaya mengenali greenwashing dapat menjadi pemantik kesadaran untuk kembali memilah dan memilih apa yang kita konsumsi, serta mendorong pemerintah dan perusahaan untuk benar-benar merealisasikan komitmennya menyelamatkan Bumi.&nbsp;



Editor: Robby Irfany Maqoma

Mengenal ‘Greenwashing’: Tipu Daya Label Ramah Lingkungan oleh Perusahaan dan Pemerintah

Pemerintah meluncurkan <a href="https://jdih.esdm.go.id/dokumen/view?id=2567">peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan</a> pada 10 April 2025. Dokumen ini dimaksudkan untuk mendukung rencana Indonesia mencapai nol emisi bersih atau net zero emission 2060.



Peta jalan ini memang mencantumkan sejumlah rencana penambahan pembangkit listrik energi terbarukan seperti energi surya, angin, dan arus laut. Kendati demikian, dokumen tersebut masih mencantumkan energi fosil dalam perencanaannya, termasuk gas fosil atau biasa disebut gas alam.



<figure class="wp-block-image"><img src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXdFtJfNrW70OheXM42FZNHrYWudt-jYM-Iahy5jPwpS-EleXLlBHTatGrtHFjAbz1n7W_-M_Bjd91bmFnfX7imZnhxJVAtbLK5yOCpgNkMwRZQV20lEWK0kzHyrXCiRAlDbuy5HWQ?key=cuaMJy-1OG3ljCboIcwSlRB9" alt=""/></figure>



Peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan (Sumber: ESDM).



Dalam peta jalan transisi energi, pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas pembangkit listrik bertenaga gas pada 2060 sebesar 63 gigawatt (GW), atau 3 kali lipat dari kapasitas per 2023 yakni 23 GW. Angka ini setara dengan 14,2% dari total kapasitas listrik pada 2060 sebesar 443 GW.



Atas nama transisi energi, pemerintah menggunakan jurus pengurangan emisi gas dengan skema retrofitting atau pembaruan pembangkit. Porsi terbesar dari opsi ini mengarah pada penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) sebesar 36,9 GW. Opsi lainnya adalah penggantian bahan bakar ke hidrogen hijau 25,3 GW.



Meski peta jalan ini sudah memuat langkah yang jelas, efektivitas pelaksanaannya bagi transisi energi yang sebenarnya masih menjadi pertanyaan.



Dampak lingkungan gas fosil



Langkah pemerintah menyertakan peningkatan penggunaan gas fosil dalam dokumen transisi energi sebenarnya sudah bermasalah. <a href="https://climate.mit.edu/ask-mit/how-much-does-natural-gas-contribute-climate-change-through-co2-emissions-when-fuel-burned">Gas fosil</a> yang tersimpan di dalam tanah sebagian besar tersusun dari metana (70%). Gas yang diproses untuk dibakar memiliki kandungan metana lebih besar, hingga 95%.&nbsp;



Metana merupakan gas rumah kaca yang sangat kuat memerangkap panas di permukaan Bumi, <a href="https://unece.org/sustainable-energy/about-methane-management-0#:~:text=Methane%20is%20a%20powerful%20greenhouses,IEA%2C%20Methane%20Tracker%202021).">36 kali lipat melebihi CO2</a>. Para ilmuwan mencatat 20 tahun terakhir kekuatan metana semakin menjadi-jadi, hingga <a href="https://phys.org/news/2021-11-slashing-methane-emissions-key-earth.html">82 kali lipat</a>.&nbsp;



Terlebih lagi, emisi metana di Indonesia sudah <a href="https://www.ecadin.org/methanematters/#:~:text=The%20waste%20sector%20is%20the,the%20energy%20sector%20(14%25).">meningkat pesat</a>: dari di bawah 100 megaton setara CO2 (MTCO2e) per tahun pada 1990 menjadi sekitar 220 MTCO2e/tahun pada 2019. Peningkatan ini disumbang oleh sektor sampah dan pertanian, dengan kontribusi sektor energi sebesar 14%.&nbsp;



<figure class="wp-block-image"><img src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXdTmCFl-6ru-jCaaZUU7yTihBYCJysByPCSIm70ZEuUa3G0e9agqJwlep4tRLo3R3BBB5TuFslqbY8Rx-RbmE7hV1TRJbm17YxQy_v-7IYaw9FY0JhvrSRqRCS1NlZzDh7DCFS7NA?key=cuaMJy-1OG3ljCboIcwSlRB9" alt=""/></figure>



Tren emisi metana di Indonesia (Sumber: Climate Transparency).



Namun, potensi emisi metana dari sektor energi yang tak tercatat sebenarnya tidak bisa dianggap enteng. Sebab, <a href="https://www.unep.org/news-and-stories/story/how-secretive-methane-leaks-are-driving-climate-change">kebocoran metana</a> ke atmosfer bisa terjadi di seluruh lini operasi mulai dari ekstraksi hingga pengangkutan. Jumlahnya bahkan bisa tujuh kali lipat <a href="https://ember-energy.org/app/uploads/2024/03/EN-Report-Uncovering-Indonesias-hidden-methane-problem.pdf">lebih tinggi</a> dari angka yang dilaporkan.&nbsp;



Melanggengkan penggunaan gas fosil hingga 2060 mendatang sama saja meningkatkan kontribusi Indonesia terhadap krisis iklim yang kini sudah mencapai <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1155/2023/5580606#:~:text=The%20shift%20from%20global%20warming,ecosystems%2C%20society%2C%20and%20economy.">tahap pendidihan global</a>. Keparahan krisis iklim akan menambah frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem, gagal panen, penyakit menular, penyakit pernapasan, hingga kematian dini.



Apakah gas menguntungkan?



Sejak 2020, pemerintah meluncurkan subsidi gas bumi melalui kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT). Sama seperti batu bara, pemerintah juga membatasi harga pembelian gas untuk berbagai kebutuhan, salah satunya untuk <a href="https://jdih.esdm.go.id/dokumen/download?id=2025kmesdm77k.pdf">sektor kelistrikan</a>.



Subsidi jelas memakan kas negara. Per 2023, kebijakan subsidi gas ini sudah menggerus penerimaan negara hingga <a href="https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XVI-8-II-P3DI-April-2024-172-EN.pdf">Rp15,68 triliun</a>. Bayangkan bila kebijakan ini berlanjut hingga 2060 mendatang, apabila asumsi harga acuannya tidak berubah, negara harus menggelontorkan biaya Rp580 triliun untuk subsidi gas yang memperparah krisis iklim.



Apabila dihitung, biaya tersebut sangat berarti untuk menggenjot energi terbarukan yang minim emisi di Tanah Air. Sebagai ilustrasi, uang sebesar itu bisa membangun <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/membayangkan-rp193-triliun-korupsi-pertamina-untuk-transisi-energi">329 PLTS</a> terapung seperti di Cirata, Jawa Barat, sekaligus menambah kapasitas listrik energi terbarukan hingga 63 GW.&nbsp;



Dana sebesar Rp560 triliun itu juga setara dengan sepertiga dari biaya pengakhiran operasi PLTU yang totalnya mencapai <a href="https://jetp-id.org/cipp">US$97 miliar</a> (Rp1.581 triliun).&nbsp; Oleh karena itu, ketimbang mengucurkan lebih banyak uang untuk subsidi gas, pemerintah bisa mempertimbangkan opsi-opsi yang lebih efektif menggenjot transisi energi.



Solusi palsu dekarbonisasi gas



Pemerintah sebenarnya menyadari bahwa gas fosil perlu dikurangi. Namun, upaya pengurangan emisi gas salah resep. Alih-alih membuahkan hasil yang diinginkan, upaya pemerintah justru berisiko menciptakan masalah berlipat-lipat.



Misalnya, pemerintah berencana mengganti sebagian pembangkit listrik bertenaga diesel (PLTD) <a href="https://jdih.esdm.go.id/dokumen/view?id=2567">menjadi gas</a>. Opsi ini justru membingungkan karena—selain keduanya sama-sama merupakan energi fosil—pada saat yang sama pemerintah berencana mengganti PLTD dengan energi terbarukan.



&nbsp;penggunaan teknologi penangkapan karbon atau CCS dalam peta jalan transisi energi, pemerintah mengambil asumsi perangkat itu bisa meredam 90% emisi. Padahal, angka itu tak lebih dari sebuah klaim bernuansa promosi dari penjaja <a href="https://calpinecarboncapture.com/">teknologi CCS</a>—tanpa dilandasi bukti lapangan dan studi ilmiah yang valid.



Baca juga: <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/pltu-dengan-penangkap-karbon-vs-energi-terbarukan-mana-yang-lebih-bersih">PLTU dengan Penangkap Karbon vs Energi Terbarukan: Mana yang Lebih Bersih?</a>



Studi dari <a href="https://ieefa.org/resources/blue-hydrogen-not-clean-not-low-carbon-not-solution">Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA)</a> menunjukkan bahwa proyek-proyek CCS di seluruh dunia hanya bisa menangkap tak sampai 80% dari total emisi. Proyek ini <a href="https://ieefa.org/resources/carbon-capture-boundary-dam-3-still-underperforming-failure">diwarnai kegagalan</a> dan <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/pltu-dengan-penangkap-karbon-vs-energi-terbarukan-mana-yang-lebih-bersih">sarat masalah</a>, mulai dari penggunaan air yang berlebihan, hingga risiko kebocoran yang mengakibatkan pencemaran dan pelepasan karbon ke atmosfer.



Penggunaan CCS juga sangat mahal. Selain ongkos pemasangan perangkat baru, penerapan teknologi ini juga menyerap lebih banyak air hingga menghabiskan lebih banyak bahan bakar. <a href="https://ieefa.org/sites/default/files/2023-03/IEEFA%20Report%20-%20CCS%20for%20power%20yet%20to%20stack%20up%20against%20alternatives_March2023.pdf">Analisis</a> berbasiskan belanja modal Di Australia, penggunaan CCS dalam pembangkit gas menyebabkan kenaikan biaya produksi listrik 65-75%.&nbsp;



Penggunaan hidrogen hijau untuk menggantikan gas juga masih menjadi tantangan besar. Berdasarkan <a href="https://jdih.esdm.go.id/dokumen/view?id=2567">rencana pemerintah</a>, hidrogen hijau akan mulai digunakan sejak 2051.



Tantangan pertama seputar hidrogen adalah soal harga. Biaya produksi bahan bakar ini 2-3 kali <a href="https://www.irena.org/-/media/Files/IRENA/Agency/Publication/2020/Nov/IRENA_Green_Hydrogen_breakthrough_2021.pdf?la=en&amp;hash=40FA5B8AD7AB1666EECBDE30EF458C45EE5A0AA6">lebih mahal</a> dibandingkan hidrogen kelabu (grey hydrogen) yang berasal dari energi fosil. Jika hidrogen dihasilkan dari air laut, ongkos bisa jadi akan meningkat.&nbsp; Ini belum dihitung ongkos pengangkutan hidrogen karena material ini rawan bocor bahkan meledak. Alhasil kita membutuhkan fasilitas khusus untuk pengangkutan dan penyaluran yang aman.



Senada dengan CCS, hidrogen juga akan membutuhkan air dalam jumlah besar. Analisis <a href="https://www.cerah.or.id/id/publications/report/detail/menimbang-hidrogen-dari-klaim-hijau-hingga-ketersediaan-air">CERAH</a> memaparkan bahwa proyek di Sumba Tengah, misalnya, akan menggunakan 2,7 juta liter air atau setara dengan pasokan air bersih bagi 25,4% penduduk setempat.&nbsp;



Karena risiko inilah, Badan Energi Internasional (<a href="https://www.iea.org/reports/the-future-of-hydrogen">IEA</a>) memperingatkan bahwa di wilayah rawan kekeringan, pengembangan hidrogen bisa memperburuk masalah pasokan air.



Pengembangan hidrogen juga bisa menciptakan masalah green grabbing yaitu perampasan ruang hidup masyarakat atas nama proyek ramah lingkungan. Berdasarkan <a href="https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/28dd4-rukn.pdf">Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional</a> 2024-2060,&nbsp; Indonesia akan membangun pembangkit listrik tenaga air di Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara hingga 22,7 gigawatt (GW) sebagai bekal memproduksi hidrogen hijau. Padahal, sungai-sungai besar yang berpotensi dibendung seperti <a href="https://kumparan.com/berita-terkini/4-plta-yang-berada-di-wilayah-papua-dan-potensinya-24ToKwd93MA/3">Baliem dan Memberamo</a> di Tanah Papua merupakan sumber kehidupan utama bagi masyarakat adat dan bagian tak terpisahkan dari ekosistem mereka.



Baca juga: <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/bahaya-besar-di-balik-rencana-umum-ketenagalistrikan-nasional">Bahaya Besar di Balik Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional</a>



Fokus ke energi terbarukan



Rencana transisi energi Indonesia terlalu banyak mengandalkan pada aneka teknologi yang belum teruji. Ujung-ujungnya ini bisa memperpanjang umur energi fosil dan menambah parah krisis iklim.



Pemerintah seharusnya memfokuskan peta jalan transisi energi untuk secara agresif mengurangi ketergantungan sistem kelistrikan terhadap gas fosil.&nbsp;



Caranya, pemerintah dapat mengandalkan pengembangan sistem kelistrikan yang andal dari energi bersih seperti surya dan angin karena potensinya di Indonesia begitu besar. Analisis EMBER mengungkapkan bahwa sistem kelistrikan Indonesia dapat didominasi oleh energi terbarukan hingga melebihi <a href="https://ember-energy.org/latest-insights/indonesia-coal-phase-out-2040/">75% dari bauran energi</a> pada 2040—apabila pemerintah serius menjalankan transisi energi yang sejati.

Gas dalam Transisi Energi Indonesia: Solusi atau Sumber Masalah Baru?

Transisi energi tengah didorong oleh hampir seluruh negara di dunia. International Energy Agency (IEA) mendeklarasikan 2024 sebagai <a href="https://www.iea.org/news/geopolitical-tensions-are-laying-bare-fragilities-in-the-global-energy-system-reinforcing-need-for-faster-expansion-of-clean-energy">The Age of Electricity</a> - era dimana dunia mulai lebih banyak menggunakan sumber listrik terbarukan. Tren global saat ini sudah meninggalkan batu bara dan minyak bumi menuju energi terbarukan. Bahkan, Uni Eropa menghasilkan <a href="https://ember-energy.org/latest-insights/six-highlights-of-the-global-energy-transition-in-2024/">30%</a> pasokan listrik dari tenaga angin dan surya - melampaui bahan bakar fosil pada paruh pertama 2024.



Artikel ketiga edisi #TanyaAhlinya kali ini kembali memuat perbincangan kami bersama Mahawira Dillon, salah satu Panel Ahli Bidang Kebijakan Energi dan Iklim di Transisienergiberkeadilan.id. 



<a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/tanyaahlinya-kenalan-sama-dasar-dasar-transisi-energi">Baca juga: #TanyaAhlinya: Kenalan sama Dasar-dasar Transisi Energi</a>



Bagaimana posisi Indonesia saat ini ketika tren transisi energi di dunia makin tinggi?&nbsp;



Kalau mau dibandingkan negara ASEAN saja, Indonesia ketinggalan jauh. Kita lihat Vietnam sudah berkomitmen untuk mematikan PLTU batu bara mereka. Untuk urusan energi terbarukan, riset <a href="https://ember-energy.org/countries-and-regions/viet-nam/">EMBER</a> menunjukkan 44% listrik Vietnam dihasilkan dari sumber rendah karbon pada 2024. Sumber listrik rendah emisi terbesar di Vietnam adalah hidro (31%), lalu sisanya disuplai tenaga angin dan surya (13%). Kondisi ekonomi Indonesia itu mirip sama Vietnam, jadi kalau kita mau kejar transisi energi seperti mereka, sebenarnya bisa banget.&nbsp;



Kalau orang mau bilang ‘ya tapi kan Vietnam beda karena otoriter’, kita lihat saja Singapura. Mereka berhasil memenuhi target <a href="https://www.businesstimes.com.sg/singapore/singapores-solar-energy-deployment-track-meet-green-plan-targets-waste-landfill-reduction-lags">Singapore Green Plan 2030</a> dengan mencapai 1,35 GWp (gigawatt peak) energi surya per Juni 2024. Target ini dapat dipenuhi setahun lebih cepat.&nbsp;



Sementara itu, Indonesia masih sangat bergantung sama energi fosil dan capaian energi terbarukan kita masih jauh dari target.



Kenapa kita masih bergantung pada energi fosil dan apa dampak dari ketergantungan ini?



Sejak 2003 kita jadi importir minyak bumi dan itu jadi beban negara. Sampai sekarang kita yang habiskan <a href="https://www.kompas.id/baca/riset/2022/07/09/mengawal-subsidi-di-tengah-kerentanan-ketahanan-energi">bisa mencapai Rp 500 triliun per tahun</a> untuk subsidi minyak bumi. Itu kan jelas dampak yang besar. Bayangin kalau subsidi itu bisa dialihkan, berapa banyak hal lain yang bisa kita kerjakan.



Nah, untuk batu bara, saat ini masih sering dibanggakan sebagai sumber devisa - padahal sebenarnya dia bukan sumber devisa yang berarti bagi rakyat Indonesia. Kebanyakan manfaatnya hanya masuk ke kantong konglomerat saja. Ini bisa dilihat dari fakta bahwa daerah-daerah di Indonesia yang paling kaya sumber daya alam justru cenderung menjadi daerah yang paling miskin. 



Karena ketika sumber daya diekstraksi, hasilnya tidak dikembalikan ke daerah tersebut. Ini yang sering disebut sebagai <a href="https://theconversation.com/four-things-that-cost-more-if-youre-already-poor-and-some-simple-ways-to-help-fix-this-188320">poverty premium</a> dan terbukti terjadi di banyak tempat.



Apa aja sih hambatan paling besar yang membuat pemerintah sulit melakukan transisi energi lebih cepat?



Bisa dilihat dari banyak aspek ya. Pertama, tantangan terbesarnya sih <a href="https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/lembam">kelembaman</a>. Sama seperti manusia, negara itu makro organisme dengan kecenderungan mempertahankan bentuk yang dianggap aman untuk bertahan hidup. Jadi, meski baik, negara cenderung menghindari perubahan karena tidak mau keluar dari zona nyaman. Ini sebenarnya terjadi di semua jenis bentuk kehidupan dan struktur sosial-politik.



Kedua, struktur sistem dunia dan ketimpangan global. Selama puluhan tahun, negara berkembang cenderung sulit untuk maju secara signifikan. Alasannya, negara-negara berkembang terus-menerus mengalami eksploitasi sumber daya manusia dan alam. Negara maju lah yang menikmati nilai tambah ini. Akibatnya, negara berkembang terjebak dalam peran sebagai eksportir komoditas, dan sulit naik ke tahap manufaktur, jasa, atau value-added industry.



Ketiga, pemerintah kita masih percaya pada zombie myths atau narasi-narasi usang yang sudah tidak relevan tapi masih terus dihidupkan berulang kali. Misalnya, solar photovoltaic (PV) atau panel surya masih dianggap mahal dan gak masuk akal secara ekonomi.&nbsp;



Klaim ini mungkin benar 20 tahun lalu, tapi kalau dilihat 10 tahun terakhir, harga solar PV turun drastis berkat dorongan Jerman dan produksi massal dari China. Sekarang biaya PV bahkan sudah setara atau bahkan lebih murah dari PLTU. Nah, karena pemerintah masih pakai logika lama, mereka tidak mau menerima fakta ini. Mereka tetap bilang energi terbarukan mahal. 



<a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/tanyaahlinya-mengapa-indonesia-tak-perlu-ragu-beralih-ke-energi-terbarukan">Baca juga: #TanyaAhlinya: Mengapa Indonesia Tak Perlu Ragu Beralih ke Energi Terbarukan?</a>



Keempat, tentu saja masalah pembiayaan. Memang benar membangun infrastruktur energi baru membutuhkan dana besar. Tapi sebenarnya ada ruang fiskal, misalnya dari subsidi BBM yang mencapai sekitar Rp 500 triliun per tahun.



Dana ini punya potensi untuk jadi subsidi silang mendukung transisi energi. Sebab, subsidi BBM justru lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah, bukan kelompok yang benar-benar membutuhkan. Sayangnya, banyak pihak gak mau (mengalihkan subsidi fosil) karena takut dianggap “bunuh diri politik.”&nbsp;



Kelima, korupsi yang mengakar kuat. Indonesia ini sudah terbiasa dan nyaman jadi eksportir minyak atau sumber energi fosil lainnya. Ketika kondisinya berubah dan harus impor, baru muncul masalah. Ditambah lagi praktik korupsi yang banyak terjadi di <a href="https://www.tempo.co/hukum/perjalanan-kasus-dugaan-korupsi-pertamina-kejagung-periksa-8-saksi--1216714">Pertamina</a> atau <a href="https://www.tempo.co/hukum/perjalanan-kasus-dugaan-korupsi-pertamina-kejagung-periksa-8-saksi--1216714">Petral</a>.



Banyak aktor di dalam sistem energi fosil yang sudah menemukan cara untuk “game the system” atau mencari celah dari sistem untuk mempertahankan keuntungan mereka. Masuknya energi terbarukan ini dianggap ancaman terhadap bisnis dan praktik lama mereka, termasuk peluang korupsi.&nbsp;



Jadi hal-hal seperti itu yang bikin kita susah untuk bergerak mendorong perubahan yang berarti bagi rakyat.



Editor: Robby Irfany Maqoma

#TanyaAhlinya: Apa Indonesia Serius Ikuti Tren Transisi Energi Dunia? 

<a href="https://wmo.int/news/media-centre/wmo-confirms-2024-warmest-year-record-about-155degc-above-pre-industrial-levelhttps://wmo.int/news/media-centre/wmo-confirms-2024-warmest-year-record-about-155degc-above-pre-industrial-level">Tahun 2024</a> menjadi tahun terpanas dalam sejarah. Di tengah bumi yang terus menunjukkan level didihnya, negara-negara di dunia terus mengupayakan langkah untuk menekan laju suhu di bawah 2°C. Indonesia, salah satunya, tengah mendorong kebijakan dan inisiatif dalam rangka mencari energi yang rendah emisi gas rumah kaca.



Pada tahun yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia ingin <a href="https://m.kumparan.com/amp/kumparanbisnis/bahlil-minta-ruu-ebet-dipercepat-penggunaan-bioenergi-jadi-prioritas-23MeX6M0U5I">mempercepat</a> penyelesaian Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) untuk memprioritaskan bioenergi, khususnya penggunaan B50 (biodiesel 50%). Disusul oleh pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada <a href="https://setkab.go.id/sesi-ketiga-ktt-g20-brasil-presiden-prabowo-tegaskan-komitmen-indonesia-pada-pembangunan-berkelanjutan-dan-transisi-energi/">KTT G20 Brasil</a> yang menjadikan biodiesel dari kelapa sawit sebagai upaya transisi hijau untuk mencapai nol emisi.



Namun, biodiesel dari sawit hanyalah satu dari sekian banyak sumber bioenergi yang jamak digunakan di berbagai belahan dunia.



Apa itu bioenergi?



Bioenergi merupakan energi yang dihasilkan dari material organik atau biomassa, menurut <a href="https://www.iea.org/energy-system/renewables/bioenergy#tracking">International Energy Agency (IEA)</a>. Biomassa sendiri menurut <a href="https://www.ieabioenergy.com/wp-content/uploads/2024/12/IEA-Bioenergy_Factsheet-1-1.pdf">IEA</a> adalah <a href="https://www.energy.gov/eere/bioenergy/bioenergy-basics#:~:text=Biofuels%20include%20cellulosic%20ethanol,%20biodiesel,today%20are%20ethanol%20and%20biodiesel">bahan organik</a> yang berasal dari tumbuhan dan hewan—limbah kayu perkotaan, sampah makanan, limbah tanaman, sisa-sisa hutan, limbah organik dari industri pertanian atau pengelolaan hutan dan lanskap, serta rumah tangga, tanaman energi berkayu, dan mikroalga.



Berdasarkan bentuknya, bioenergi memiliki tiga jenis: biofuel (seperti biodiesel dan bioetanol), biogas, dan biomassa padat. Biofuel (bahan bakar cair) biasanya dihasilkan dari bahan organik dan digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil.&nbsp;



Biofuel mencakup bahan bakar cair seperti bioetanol (umumnya dari tebu atau jagung) dan biodiesel (biasanya dari minyak sawit atau minyak jelantah). Biofuel ini digunakan untuk menggantikan atau dicampur dengan bahan bakar fosil di sektor transportasi, seperti bensin dan solar.



Di Indonesia, penggunaan bioenergi diperuntukkan dalam transportasi dan terus berkembang pesat seiring kebijakan mandatori seperti campuran biodiesel 30% (B30) dan 50% (B50). Presiden Prabowo bahkan menargetkan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20241104114027-4-585386/prabowo-mau-swasembada-energi-sampai-b100-toyota-gaikindo-buka-suara">B100</a> atau 100% penggunaan <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/memahami-biodiesel-dan-implementasinya-di-indonesia">biodiesel</a> sebagai upaya ketahanan energi sekaligus mengurangi emisi.&nbsp;



Sementara biogas (gas) dihasilkan dari proses fermentasi anaerobik dari limbah organik dan dapat digunakan untuk menghasilkan listrik dan panas. Gas ini berasal dari limbah cair produk perkebunan, misalnya kelapa sawit maupun kotoran hewan. Per November 2022, kapasitas energi biomassa mencapai <a href="https://industri.kontan.co.id/news/realisasi-kapasitas-ebt-terpasang-hingga-november-2022-capai-12526-mw">139 megawatt (MW)</a>. Ada juga sekitar <a href="https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-laporan-kinerja-ditjen-ebtke-tahun-2024.pdf">28 ribu unit</a> biogas berskala rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia per 2024.



Sementara biomassa padat seperti kayu atau residu tanaman dibakar langsung untuk menghasilkan energi panas atau listrik. Indonesia memiliki pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) dengan kapasitas terpasang sebesar 2.914 MW per <a href="https://industri.kontan.co.id/news/realisasi-kapasitas-ebt-terpasang-hingga-november-2022-capai-12526-mw">November 2022</a>.&nbsp;



Tahun 2023, <a href="https://web.pln.co.id/cms/media/siaran-pers/2024/06/pengembangan-ebt-tumbuh-positif-di-2023-pln-catatkan-kinerja-yang-berkelanjutan/">PT PLN</a> juga menggunakan biomassa padat sebagai bahan bakar pendamping batu bara (co-firing) hingga 990 ribu ton di 43 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Tahun ini, penggunaan biomassa untuk kebutuhan co-firing ditargetkan bertambah hingga menjangkau 52 PLTU.



 Masalah di balik bioenergi



Meski berasal dari bahan organik, pemilihan bioenergi terutama biofuel dan biomassa sebagai solusi transisi energi masih perlu ditinjau ulang. Alih-alih menjadi sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, bioenergi justru memperparah emisi—berlawanan dengan tujuan transisi energi berkeadilan.&nbsp;



Studi <a href="https://tractionenergy.asia/id/mengapa-ambisi-hijau-proyek-biodiesel-dan-pltu-dapat-memperburuk-emisi-indonesia/?utm_source=chatgpt.com">Traction Energy Asia</a>&nbsp; di tahun 2022 menunjukkan, emisi dari produksi biodiesel berbahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) enam kali lipat lebih banyak dibandingkan emisi dari bahan bakar fosil. Ini disebabkan oleh pengeringan lahan gambut untuk pembukaan lahan perkebunan sawit—melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, terutama gas metana.



Hal ini juga diperkuat oleh temuan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0961953408000883">Wicke et al</a>. yang mendapati pembukaan lahan sawit dengan cara mengeringkan lahan gambut menjadi faktor utama yang menyumbang emisi gas rumah kaca dalam rantai proses biodiesel.



Aspek keberlanjutan (sustainability) dari sektor hulu biodiesel pun masih dipertanyakan. Sebab, pembukaan lahan dengan cara pembakaran selama ini masih sering dilakukan oleh perusahaan yang bahkan telah memegang sertifikasi keberlanjutan, sehingga memperparah emisi. <a href="https://pantaugambut.id/publikasi/gelisah-di-lahan-basah">Pantau Gambut</a> di tahun 2024 mencatat, 91% dari 155 titik kebakaran lahan ditemukan telah disulap menjadi lahan sawit.&nbsp;



Selain kebakaran, penanaman kelapa sawit—sebagaimana <a href="https://ecologyandsociety.org/vol25/iss3/art14/">studi di Jambi</a>—juga terbukti berhubungan dengan kejadian banjir di daerah sekitar. Pasalnya, perkebunan sawit monokultur (satu jenis tanaman dalam suatu kebun) menurunkan kemampuan tanah menyerap air, sehingga rentan menyebabkan banjir.&nbsp;



Penggunaan biomassa padat yang berasal dari pelet kayu (potongan kecil kayu-kayu yang ditebang) juga memicu persoalan lanjutan. Studi TrendAsia pada 2022 menyatakan, apabila semua PLTU milik PLN menerapkan skema ini, kebutuhan lahan untuk menumbuhkan biomassa (dalam hal ini pelet kayu) akan <a href="https://www.mongabay.co.id/2022/02/17/menyoal-co-firing-biomassa-di-pltu/">mencapai 11 juta ha</a>. Ini merupakan area yang sangat besar, mendekati luas <a href="https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/luas-pulau-jawa-batas-bentang-alam-dan-kondisi-geografisnya-24KNsIhSNQD#:~:text=Luas%20Pulau%20Jawa%20berapa%20hektar%3F,km2%20atau%2013.211.400%20hektar.">Pulau Jawa</a>, sehingga berisiko menciptakan masalah baru seperti deforestasi, persoalan terkait air, kehilangan biodiversitas, hingga konflik lahan.



Solusi palsu



Dengan berbagai <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/ironi-sawit-dalam-solusi-palsu-transisi-energi?utm_source=chatgpt.com">dampak ekologis dan sosial</a> yang timbul, bioenergi berbasis biodiesel dan biomassa dapat dinilai sebagai solusi palsu (false solution) untuk mencapai transisi energi berkeadilan. Meski opsi ini dipilih sebagai upaya swasembada energi, pemerintah perlu meninjau ulang agar tidak melahirkan ketimpangan baru.



Alih-alih bertransisi ke sistem energi yang berkeadilan dan berkelanjutan, pengembangan bioenergi di Indonesia masih mempertahankan sistem lama dengan wajah baru—tetap mengekstraksi sumber daya, merusak lingkungan, dan mengancam ruang hidup masyarakat rentan.



Editor: Robby Irfany Maqoma

Apa itu Bioenergi dan Benarkah Energi Ini Bersih?

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan komitmen pemerintah untuk memensiunkan PLTU Cirebon-1 tujuh tahun lebih awal dari jadwal seharusnya. PLTU ini direncanakan <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250203153526-85-1194062/bahlil-pastikan-pltu-cirebon-pensiun-dini-disiapkan-4-pengganti">berhenti beroperasi pada 2035</a>. Pengakhiran PLTU ini menggunakan skema <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20240529125104-4-542100/pltu-cirebon-1-disuntik-mati-2035-ri-dikejar-target">Just Energy Transition Partnership (JETP)</a>.&nbsp;



Sebagai pengganti, Bahlil mengaku tengah menyiapkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 346 MegaWatt (MW) dan PLTS + baterai penyimpanan energi berkapasitas 770 MW. Tambahan lainnya berasal dari pembangkit listrik tenaga bayu (angin) atau PLTB sebesar 1.000 MW dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) 12 MW.



Selain PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu juga masuk rencana pensiun dini pada 2037. Jika pensiun dini PLTU dilakukan dengan segera dan benar, maka dampak positif yang diberikan bisa berlipat ganda: dari aspek kesehatan, finansial, hingga ketenagakerjaan.



Biaya dan nyawa yang harus dibayar pemerintah



Berdasarkan analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), kebutuhan dana untuk pensiun kedua PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu mencapai US$1,13 miliar atau Rp18,7 triliun (asumsi kurs Rp16.560).&nbsp;



Angka ini memang besar, tapi belum sebanding dengan beban ekonomi yang berisiko ditanggung Indonesia apabila tak mengakhiri operasional kedua PLTU tersebut.



Dengan perhitungan serupa, jika PLTU Pelabuhan Ratu tetap beroperasi pada 2038-2043, maka kerugian ekonomi akan mencapai US$3,7 miliar atau setara Rp 57 triliun. Sementara kerugian ekonomi akibat PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 MW akan mencapai US$4,4 miliar (Rp67 triliun) selama 2036 - 2042.&nbsp;



Perhitungan beban ekonomi ini bersumber dari polusi udara kedua PLTU. Udara yang tercemar sisa pembakaran batu bara <a href="https://www.nih.gov/news-events/nih-research-matters/deaths-associated-pollution-coal-power-plants">meningkatkan risiko dan insiden penyakit pernapasan.</a> Warga yang terkena penyakit kemudian mengalami penurunan produktivitas.



Selain risiko penyakit, polusi dari PLTU Cirebon-1 berpotensi <a href="https://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2025/03/ID-IDN-Briefing-Cirebon-1-coal-to-RE.pdf">menyebabkan 441 kematian setiap tahun</a> akibat polutan udara yang dihasilkan. Sementara PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berpotensi merenggut 421 nyawa setiap tahun.



Secara akumulatif, pensiun dini Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu bisa mencegah <a href="https://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2025/03/ID-IDN-Briefing-Cirebon-1-coal-to-RE.pdf">11.400 kematian</a> akibat polusi udara jika dipensiunkan pada 2035 mendatang. Jika tidak dipensiunkan, PLTU Cirebon-1 berpotensi memakan 6.370 kematian dan Pelabuhan Ratu sekitar 5.000 kematian.&nbsp;



Keuntungan berlipat pensiun dini



Riset Center of Economic and Law Studies <a href="https://celios.co.id/wp-content/uploads/2024/12/CERA_Hx_CELIOS_Dampak_Ekonomi_Pensiun_PLTU_batu_bara_a97f10c47c.pdf">(CELIOS) dan CERAH</a> juga menunjukkan keuntungan ekonomi dari pensiun dini kedua PLTU akan melampaui biaya tersebut.&nbsp;



Keuntungan berlipat ini dapat muncul dengan catatan pensiun dini PLTU Cirebon-1 harus dibarengi dengan pembangunan infrastruktur energi terbarukan.&nbsp;



Keuntungan berasal dari penciptaan 639 ribu lapangan pekerjaan yang dihasilkan dari proyek energi terbarukan pengganti PLTU Cirebon-1. Ratusan ribu lapangan pekerjaan itu dapat diisi oleh pekerja PLTU yang terdampak lewat skema <a href="https://celios.co.id/impact-of-coal-fired-power-plant-closures-on-local-communities-workers-smes-and-regional-revenue/">reskilling (pelatihan ulang) dan upskilling</a> (peningkatan keterampilan). Nantinya, skema ini perlu menjadi bagian dari rencana pensiun dini PLTU pemerintah untuk menghindari risiko meningkatnya pengangguran akibat transisi energi.



Jika langkah ini ditempuh, penerimaan pajak bersih negara dapat bertambah Rp4,06 triliun. Jumlah penduduk miskin secara nasional juga bisa berkurang hingga 153.755 orang.



Sebaliknya, pensiun dini PLTU Cirebon-1 yang tidak dilakukan paralel dengan pembangunan infrastruktur energi terbarukan justru berisiko mendatangkan kerugian besar bagi Indonesia. Misalnya, 14 ribu tenaga kerja akan menganggur dan pendapatan tenaga kerja berkurang Rp1,21 triliun. Akibatnya, penduduk miskin akan bertambah 3.373 orang akibat kehilangan pekerjaan.



Untuk itu, pensiun dini PLTU batu bara harus dipastikan berlangsung secara adil dan efektif. Terlebih Pelabuhan Ratu dan Cirebon-1 sebagai proyek percontohan Just Energy Transition Partnership (JETP) berada di Jawa Barat, provinsi dengan populasi terpadat se-Indonesia.



Pensiun dini PLTU perlu langkah aktif 



Dua studi di atas memaparkan bagaimana pensiun dini PLTU dapat menguntungkan Indonesia. Dengan demikian, pemerintah semestinya menggenjot skema yang sama untuk PLTU lainnya di tanah air.



Skema pensiun dini seharusnya termuat dalam peta jalan pengakhiran PLTU yang <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20240821121707-4-565127/esdm-bakal-keluarkan-aturan-baru-soal-tata-cara-pensiun-dini-pltu">dijanjikan pemerintah</a>. Sayangnya, hingga kini peta jalan tersebut tak kunjung terbit. Upaya pengakhiran PLTU juga tidak masuk dalam <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/bahaya-besar-di-balik-rencana-umum-ketenagalistrikan-nasional">Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional</a> dan <a href="https://industri.kontan.co.id/news/pensiun-dini-pltu-tak-masuk-dalam-ruptl-2025-2034-bauran-fosil-masih-tinggi">Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN terbaru.</a>



Padahal, tanpa perencanaan yang jelas dan terarah, lembaga pembiayaan dan pihak swasta akan sulit berpartisipasi dalam komitmen transisi energi yang digembar-gemborkan pemerintah.&nbsp;



Terbaru, pemerintah justru mengatakan hanya akan mengakhiri operasional suatu PLTU apabila terdapat <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250203153526-85-1194062/bahlil-pastikan-pltu-cirebon-pensiun-dini-disiapkan-4-pengganti">sumber pendanaan yang jelas</a>.&nbsp;



Ketimbang pasif menunggu, pemerintah seharusnya aktif mencari sumber dana.&nbsp;



Studi memaparkan sejumlah peluang&nbsp; sumber <a href="https://finance.detik.com/energi/d-7651768/prabowo-mau-ri-pensiunkan-pltu-dalam-15-tahun-bahlil-buka-suara">pembiayaan untuk memensiunkan PLTU</a> batu bara. Opsi pertama adalah melalui <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/mencari-alternatif-sumber-dana-untuk-pensiun-dini-pltu">pungutan produksi batu bara</a> yang berpotensi mendatangkan uang sekitar Rp84,5-353 triliun per tahun.



Pilihan lainnya adalah pertukaran utang untuk pensiun dini PLTU yang bisa membuka jalan pendanaan sebesar <a href="https://celios.co.id/skema-debt-swap-dapat-bantu-transisi-energi-era-prabowo/">Rp94,8 triliun</a> pada 2025. Angka ini berasal dari negosiasi utang jatuh tempo berbentuk pinjaman, baik ke negara maupun lembaga keuangan pemberi utang (kreditur) internasional.



Keaktifan pemerintah sangat diperlukan untuk mencegah puluhan ribu kematian dini serta peningkatan penyakit akibat polusi PLTU. Langkah ini juga perlu dilakukan segera untuk mengurangi risiko keparahan bencana di Indonesia akibat terus menunda langkah penanganan krisis iklim.   



Editor: Robby Irfany Maqoma

Hitung Untung Pensiun Dini PLTU Cirebon, Negara Bisa “Hemat” Rp124 Triliun

Dalam perlombaan global menuju transisi energi bersih dan target net-zero emissions, hidrogen hijau (green hydrogen) makin sering disebut sebagai <a href="https://www.weforum.org/stories/2023/12/why-hydrogen-is-the-fuel-of-the-sustainable-future/">“bahan bakar masa depan.”&nbsp;</a>



Disebut-sebut sebagai <a href="https://climate.mit.edu/ask-mit/how-clean-green-hydrogen">energi rendah emisi</a>, hidrogen hijau berpotensi besar dalam mengurangi jejak lingkungan sektor-sektor sulit, seperti industri berat dan <a href="https://climate.mit.edu/ask-mit/which-more-likely-electric-airplanes-or-hydrogen-powered-airplanes">sektor penerbangan</a>. Di Indonesia, pemanfaatan hidrogen hijau diawali dengan penggunaannya untuk mengurangi emisi industri pupuk.&nbsp;



Namun, di balik optimisme itu, muncul pula berbagai kritik dan tantangan yang perlu diperhitungkan, terutama di tanah air.



Apa itu hidrogen hijau?



Hidrogen hijau adalah hidrogen yang diproduksi melalui proses elektrolisis air, yaitu pemisahan molekul air (H₂O) menjadi hidrogen (H₂) dan oksigen (O₂) menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, atau air. 



Melalui proses menyetrum air ini, hidrogen menjadi pembawa energi yang efektif dengan kepadatan energi yang tinggi. Sebagai ilustrasi, kendaraan berbahan bakar hidrogen hanya membutuhkan waktu <a href="https://afdc.energy.gov/fuels/hydrogen_basics.html">3-5 menit</a> untuk proses isi ulang hingga penuh. Ini jauh lebih cepat dari <a href="https://www.transportation.gov/rural/ev/toolkit/ev-basics/charging-speeds">isi ulang daya baterai pada kendaraan listrik</a> yang memakan waktu hingga 10 jam untuk home charging.



Istilah hidrogen hijau baru digunakan digunakan belakangan untuk <a href="https://theconversation.com/mengenal-hidrogen-hijau-jenis-manfaat-dan-tantangannya-untuk-transisi-energi-indonesia-225734">membedakan hidrogen lainnya</a> yang berasal dari gas alam atau batu bara (hidrogen kelabu). Sementara ada hidrogen biru apabila emisi dari hidrogen kelabu diinjeksi kembali ke dalam tanah. Ada pula hidrogen yang diproduksi dengan bantuan energi nuklir (hidrogen pink). 



Untuk apa saja hidrogen hijau digunakan?



Hidrogen hijau punya beragam aplikasi lintas sektor:



<ul>
<li>Industri Berat: Industri seperti baja, semen, dan kimia—yang sulit didekarbonisasi—bisa menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar bersih pengganti batu bara atau gas.</li>



<li>Transportasi: Kendaraan dengan bahan bakar sel (fuel cell) hidrogen, seperti mobil dan truk, menghasilkan emisi nol dan hanya mengeluarkan air. Ini menjadi alternatif untuk kendaraan listrik berbaterai, khususnya untuk transportasi jarak jauh atau beban berat.<a href="https://www.iea.org/reports/the-future-of-hydrogen"> International Energy Agency (IEA)</a> menyebutnya sebagai solusi penting untuk dekarbonisasi transportasi.</li>



<li>Pembangkit listrik &amp; penyimpanan energi: Hidrogen bisa disimpan dalam jangka panjang dan digunakan kembali saat pasokan energi dari surya atau angin tidak tersedia. Alhasil, hidrogen bisa mengatasi persoalan listrik <a href="https://www.irena.org/-/media/Files/IRENA/Agency/Publication/2018/Sep/IRENA_Hydrogen_from_renewable_power_2018.pdf">energi terbarukan variabel</a> (seperti surya dan angin) yang produksi setrumnya tidak stabil.</li>
</ul>



Tantangan pengembangan hidrogen



Meski bermanfaat, Indonesia masih perlu mengatasi tantangan dalam pengembangan hidrogen hijau.&nbsp;



Tantangan pertama adalah harga. Biaya produksi green hydrogen 2-3 kali <a href="https://www.irena.org/-/media/Files/IRENA/Agency/Publication/2020/Nov/IRENA_Green_Hydrogen_breakthrough_2021.pdf?la=en&amp;hash=40FA5B8AD7AB1666EECBDE30EF458C45EE5A0AA6">lebih mahal</a> dibandingkan hidrogen kelabu (grey hydrogen) yang berasal dari energi fosil. Apalagi jika biaya ini dihitung dengan ongkos desalinasi (penghilangan kadar garam), apabila sumber airnya berasal dari laut.&nbsp;



Distribusi dan penyimpanan juga menjadi tantangan teknis dan ekonomi tersendiri. Sebab, hidrogen sangat mudah terbakar dan memerlukan infrastruktur penyimpanan serta transportasi yang aman untuk mencegah kebocoran.



Hal lainnya yang perlu kita pertanyakan adalah efisiensi hidrogen. Setiap produksi 1 kg hidrogen akan membutuhkan listrik sekitar 50 kilowatt jam (kwh). Namun, 1 kg hidrogen hanya bisa digunakan untuk memproduksi listrik <a href="https://ien.com.pl/images/struktura/pion-cieplny/CPE/FAQ_final_EN.pdf">33,33 kwh</a>. Nilai ini bisa menurun apabila hidrogen disimpan sebagai fuel cell, yakni hanya 16 kwh.



Apakah hidrogen hijau cukup berkeadilan?



Meski menjanjikan, pengembangan hidrogen hijau tak lepas dari kritik.



Misalnya, proses elektrolisis untuk produksi hidrogen membutuhkan banyak air bersih: sekitar 9 liter air untuk setiap 1 kg hidrogen. Badan Energi Internasional (<a href="https://www.iea.org/reports/the-future-of-hydrogen">IEA</a>) memperingatkan bahwa di wilayah rawan kekeringan, ini bisa memperburuk masalah pasokan air.



Di Indonesia, proyek di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, direncanakan akan memproduksi hidrogen hijau dengan kapasitas 2 gigawatt (GW). Menurut <a href="https://www.cerah.or.id/id/publications/report/detail/menimbang-hidrogen-dari-klaim-hijau-hingga-ketersediaan-air">perhitungan CERAH</a>, proses ini akan menggunakan 2,7 juta liter air atau setara dengan pasokan air bersih bagi 25,4% penduduk setempat.&nbsp;



Di tengah status Sumba Tengah sebagai daerah yang <a href="https://www.rri.co.id/daerah/726280/sejumlah-wilayah-di-ntt-mengalami-kekeringan">rawan kekeringan</a>, produksi hidrogen hijau justru berisiko menciptakan ketimpangan pasokan air untuk proyek energi dan kebutuhan dasar masyarakat.



Penggunaan air dari sumber lainnya—misalnya <a href="https://wwfint.awsassets.panda.org/downloads/hydrogen_report_final.pdf">bendungan</a>—untuk produksi hidrogen juga berisiko merusak ekosistem dan mengubah pola aliran sungai.&nbsp;



Terkait hal ini, Indonesia perlu meninjau kembali rencana pengembangan hidrogen hijau yang termuat dalam <a href="https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/28dd4-rukn.pdf">Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional</a> 2024-2060.&nbsp; Indonesia akan membangun pembangkit listrik tenaga air di Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara hingga 22,7 gigawatt (GW) untuk bekal memproduksi hidrogen hijau.



Ekspansi PLTA di Papua berisiko menjadi bentuk baru green grabbing, yaitu perampasan ruang hidup masyarakat atas nama proyek ramah lingkungan. Sungai-sungai besar seperti <a href="https://kumparan.com/berita-terkini/4-plta-yang-berada-di-wilayah-papua-dan-potensinya-24ToKwd93MA/3">Baliem dan Memberamo</a>, yang berpotensi dibendung, adalah sumber kehidupan utama bagi masyarakat adat dan bagian tak terpisahkan dari ekosistem mereka.



Hidrogen hijau perlu hati-hati



Penggunaan hydrogen hijau juga perlu hati-hati agar tidak menjadi alasan untuk memperpanjang umur pemakaian batu bara dalam pembangkit listrik tenaga uap. <a href="https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/capaian-program-cofiring-ebtke-di-43-pltu-kurangi-emisi-karbon-11-juta-ton">Pemerintah</a> dan <a href="https://www.esdm.go.id/en/media-center/news-archives/green-hydrogen-plant-pertama-di-indonesia-resmi-beroperasi">PLN</a> menyinggung bahwa hidrogen merupakan salah satu bahan bakar pendamping batu bara melalui skema co-firing PLTU. Selain hidrogen, amonia juga menjadi salah satu bahan bakar alternatif yang dapat diproduksi dari hidrogen.&nbsp;



Oleh karena itu, Indonesia semestinya memperjelas tujuan penggunaan hydrogen hijau yang jelas. Saat ini, peta jalan hidrogen Indonesia yang disusun sejak 2023 lalu masih <a href="https://esdm.go.id/en/media-center/news-archives/wamen-esdm-luncurkan-soft-launching-global-hydrogen-ecosystem-summit-and-exhibition-2025">belum juga rampung</a>.



PLN sebenarnya sudah memiliki fasilitas produksi yang mereka klaim bisa memproduksi hidrogen hijau di Jakarta Utara. Namun, perusahaan perlu memperjelas apakah produksi hidrogen ini 100% dari listrik energi terbarukan.



Sejauh ini PLN hanya mengumumkan hidrogen buatannya menggunakan listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)berkapasitas 413 kilowatt peak (kwp) dan <a href="https://www.plnnusantarapower.co.id/pln-np-resmikan-plant-pertama-di-indonesia-dengan-cara-tercepat-hasilkan-green-hydrogen/">Renewable Energy Certificate (REC)</a> pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Kamojang.



Perlu dicatat bahwa sertifikat ini bukan menandakan PLN menggunakan PLTP Kamojang sebagai sumber listrik untuk produksi hidrogen. REC hanyalah bukti bahwa PLN menggunakan kredit energi terbarukan dari aktivitas PLTP Kamojang untuk menebus produksi listrik energi fosilnya di suatu tempat.&nbsp;



Penggunaan sertifikat ini juga menjadi poin yang rawan pencitraan hijau (greenwashing) untuk memberi label hidrogen hijau—sebagaimana analisis dari <a href="https://theicct.org/dont-let-the-industry-greenwash-green-hydrogen/">International Council on Clean Transportation.</a>&nbsp;&nbsp;



Jika Indonesia benar-benar ingin menjadikan hidrogen hijau sebagai bagian dari transisi energi, maka arah kebijakannya harus tegas dan tidak sekadar simbolis. Tanpa peta jalan yang jelas, hidrogen hijau berisiko menjadi sekadar jargon tanpa implementasi nyata atau, lebih buruk lagi, menjadi celah bagi industri fosil untuk terus beroperasi dengan dalih keberlanjutan.



Selain itu, upaya dekarbonisasi sektor industri berat tidak bisa hanya bergantung pada satu solusi seperti hidrogen hijau, apalagi jika masih ada risiko ekologis yang besar. Pengembangan energi terbarukan yang lebih efisien dan berkeadilan harus tetap menjadi prioritas utama.&nbsp;



Jika tidak dikelola dengan hati-hati, hidrogen hijau bisa berbalik menjadi jebakan hijau (green trap)—sebuah ilusi solusi yang justru memperpanjang ketergantungan kita pada energi yang tidak benar-benar bersih.

Mengenal Hidrogen Hijau: Potensi dan Tantangannya dalam Transisi Energi

Sejak tahun lalu publik Indonesia dibuat riuh oleh pemberian konsesi pertambangan kepada organisasi masyarakat keagamaan. Mengacu Peraturan Pemerintah <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/286980/pp-no-25-tahun-2024">No. 25 Tahun 2024</a>, ormas keagamaan berhak mendapat penawaran prioritas untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).&nbsp;



Mata publik kian mendelik karena penerima salah satu konsesi tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan besar di Indonesia. Melalui PP 25/2024, NU mendapatkan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20240819141900-4-564452/nu-resmi-dapat-izin-tambang-bahlil-tinggal-setor-ke-negara">konsesi tambang batu bara di Kalimantan Timur.</a>



Tak hanya NU, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia juga mengalamatkan pemberian konsesi serupa kepada <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20240819141900-4-564452/nu-resmi-dapat-izin-tambang-bahlil-tinggal-setor-ke-negara">Muhammadiyah</a>. Organisasi ini, menurut perkataan Bahlil, juga akan kebagian mengelola wilayah pertambangan batu bara.



NU berdalih menerima tawaran pemerintah karena <a href="https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20240613/Gus-Ipul-Salahnya-Apa-Kami-Mengelola-Tambang/">kebutuhan dana</a>. Sebab, banyak pesantren yang berada di bawah naungan Pengurus Besar NU (PBNU) membutuhkan beasiswa dan dukungan infrastruktur.&nbsp;



Senada, Muhammadiyah pada akhirnya ikut menerima tawaran ini dengan alasan ingin meminimalkan kerusakan lingkungan akibat tambang seperti yang sudah-sudah. Menurut Muhammadiyah, pengelolaan tambang <a href="https://ppim.uinjkt.ac.id/2024/08/28/gerakan-green-islam-hambatan-dan-problematikanya-di-indonesia/">tidak mesti selalu diidentikkan dengan kerusakan lingkungan</a>.



Pemberian konsesi pun memantik suara-suara penolakan, terutama kader-kader dua lembaga tersebut yang aktif bergerak di isu lingkungan.&nbsp;



Sebagai contoh, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dengan tegas menolak sikap NU yang justru menghalalkan pengerukan batu bara. Tambang ini dianggap lekat dengan <a href="https://www.mongabay.co.id/2024/06/27/mestinya-nu-awasi-tambang-dan-dampingi-korban-bukan-jadi-pengelola/">kerusakan lingkungan</a> yang berlawanan dengan nilai-nilai Islam.&nbsp;



Argumen senada juga disampaikan oleh <a href="https://www.tempo.co/ekonomi/kader-hijau-muhammadiyah-desak-konsesi-tambang-dari-pemerintah-ditolak-banyak-yang-tak-kompeten-untuk-maksimalkan-laba-48805">Kader Hijau Muhammadiyah.</a> Langkah Muhammadiyah menerima konsesi pertambangan dianggap kontradiktif dengan komitmen organisasi tersebut dalam menerapkan nilai-nilai Islam yang selaras dengan pelestarian Bumi.



Sikap dan praktik yang berlawanan



Wajar apabila FNKSDA dan KHM menyuarakan penolakannya terhadap pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan. Pasalnya, NU dan Muhammadiyah, berdasarkan catatan dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, merupakan dua dari 142 kelompok yang turut andil dalam <a href="https://ppim.uinjkt.ac.id/wp-content/uploads/2024/12/Green-Islam_FINAL25.pdf">gerakan Islam hijau atau green Islam</a> di Indonesia sejak dua dekade belakangan. Gerakan ini mengamalkan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam melakukan upaya-upaya menjaga keselamatan Bumi di berbagai lini, termasuk <a href="https://etd.umy.ac.id/id/eprint/48938">advokasi masyarakat terdampak </a>tambang dan <a href="https://www.suaramuhammadiyah.id/read/peluncuran-program-sedekah-energi-2025-dapatkan-dukungan-lembaga-islam-dan-pemerintah">transisi energi</a> di tanah air.



NU juga pernah tercatat menolak keras kehadiran tambang di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, pada 2018, lembaga fatwa organisasi ini pernah mengharamkan kehadiran tambang emas di Blok Silo di <a href="https://nu.or.id/daerah/nu-jember-haramkan-tambang-emas-blok-silo-imrAo">Jember, Jawa Timur</a>, karena kerusakan akibat pertambangan jauh lebih besar ketimbang manfaatnya.



Baik NU maupun Muhammadiyah pun aktif melakukan kajian seputar pelestarian lingkungan dan menyatakan sikap tegas terhadap segala bentuk upaya yang mengarah pada degradasi lingkungan.



Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PBNU, misalnya, mengeluarkan laporan tentang <a href="https://ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/314/2019/08/e-book_FIKIH_ENERGI_TERBARUKAN.pdf">Fikih Energi Terbarukan</a> pada 2018. NU menyatakan penggunaan energi terbarukan secara ilmiah telah terbukti lebih memiliki <a href="https://transisienergiberkeadilan.id/news/main/detail/alasan-mengapa-energi-terbarukan-penting-bagi-lingkungan">banyak manfaat</a> dalam jangka panjang dibanding energi fosil seperti batu bara.



Oleh karena itu, NU berpendapat, mengubah kebijakan energi yang lebih maslahat, ramah lingkungan, dan mudah diakses rakyat banyak adalah suatu kebijaksanaan yang patut dipilih.



Muhammadiyah juga pernah mendeklarasikan <a href="https://www.antaranews.com/berita/3690345/rakernas-mlh-muhammadiyah-hasilkan-deklarasi-muhammadiyah-hijau">ideologi Green Al Maun</a> sebagai basis gerakan lingkungan di Muhammadiyah. Ideologi ini bertujuan mendukung kebijakan yang memihak kelestarian lingkungan dan melakukan koreksi atas kebijakan yang merusak lingkungan.&nbsp;



Belakangan, Muhammadiyah juga meluncurkan buku <a href="https://lestari.kompas.com/read/2024/09/30/070000186/muhammadiyah-luncurkan-buku-fikih-transisi-energi-berkeadilan-jadi-panduan#google_vignette">Fikih Transisi Energi Berkeadilan</a> yang memuat lima nilai dan prinsip transisi energi untuk mengatasi persoalan lingkungan, mencegah kerusakan, sekaligus menghadapi persoalan energi yang dialami golongan yang lemah atau mustadl’afin.



Tak acuh di tengah kritik pedas&nbsp;



Selain FNKSDA dan Kader Hijau Muhammadiyah, banyak pihak juga mengkritik keputusan pemerintah memberikan izin pertambangan untuk ormas Islam.&nbsp;



Salah satu kekhawatiran itu yakni risiko korupsi yang rentan muncul dalam industri pertambangan dan dampak sosial yang menyertai. <a href="https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2018/12/727d7a2d-coalruption-english-web.pdf">Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) 2016</a> tentang Korupsi dalam Rantai Nilai Ekstraktif menyoroti bahwa risiko korupsi dapat muncul di setiap titik dalam rantai nilai, mulai dari pembuatan keputusan untuk mengekstraksi hingga fase pengeluaran pendapatan.&nbsp;



Selain itu, kebijakan ini <a href="https://unair.ac.id/kebijakan-tambang-bagi-ormas-keagamaan-kepedulian-atau-kepentingan/">berpotensi mengubah konflik tambang</a> yang awalnya bersifat struktural menjadi konflik horizontal antar-umat. Kekhawatiran ini berdasar dari pengalaman industri pertambangan yang sering mengakibatkan perampasan lahan masyarakat, kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya.



Dari aspek politik dan ekonomi, Ormas keagamaan dinilai tidak memiliki kemampuan teknis untuk mengelola pertambangan yang dikenal sebagai “<a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/10/24/masih-ada-ruang-pendanaan-politik-dari-industri-kotor">industri kotor</a>”. Keterlibatan ini justru berisiko menjerumuskan Ormas Islam <a href="https://fulcrum.sg/indonesias-islam-based-mass-organisations-and-the-mining-industry-vortex/">ke dalam malpraktik</a> atau salah urus saat mengelola dan mengoperasikan tambang. Dengan kemampuan yang terbatas, mereka juga dikhawatirkan terpaksa harus menggandeng para pemilik modal untuk mengelola tambang, hingga hanya akan menguntungkan golongan itu-itu saja.



Pada akhirnya, risiko paling besar yang dihadapi oleh Ormas Islam adalah merusak lingkungan. <a href="https://jaringnusa.id/walhi-kritik-izin-pertambangan-untuk-ormas-keagamaan/">WALHI mengungkapkan</a> hampir 5 juta hektare lahan diubah menjadi kawasan pertambangan, dengan 2 juta hektare di antaranya berada di kawasan hutan.&nbsp;



Tren alih fungsi lahan sebagai kawasan pertambangan juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Perubahan fungsi hutan akibat pertambangan berisiko memperparah bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor terutama di sekitar banjir bandang. Tahun lalu, bencana ini merenggut 15 korban tewas di tiga kabupaten di <a href="https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7333277/aktivitas-tambang-diduga-biang-kerok-bencana-banjir-longsor-di-sulsel">Sulawesi Selatan</a>.



Lebih jauh, pertambangan batu bara menempatkan Indonesia sebagai <a href="https://iesr.or.id/pentingnya-pengakhiran-operasional-pltu-batubara-untuk-mengejar-target-penurunan-emisi/#:~:text=Sementara%20itu%2C%20berdasarkan%20laporan%20Ember,juta%20ton%20CO2%20pada%202021.">penghasil emisi terbesar kesembilan</a> di dunia dengan 600 juta ton CO2 pada 2021. Luas tambang batu bara juga memakan 15% kawasan budi daya perkebunan, 19% area persawahan, dan 23% di lahan budidaya padi baru. Ormas Islam berpotensi melanjutkan praktik buruk pertambangan dan justru mendorong degradasi lahan pertanian dan kehutanan.



Perlu konsisten terhadap kemaslahatan Bumi



Survei PPIM <a href="https://ppim.uinjkt.ac.id/wp-content/uploads/2024/07/RINGKASAN-EKSEKUTIF_Launching_180724.pdf">UIN Jakarta</a> tahun lalu menemukan hampir 70% muslim Indonesia sangat setuju bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan ekonomi seperti perkebunan sawit dan pertambangan. Muslim yang terafiliasi dengan Muhammadiyah memiliki persetujuan tertinggi dengan 69% atas pernyataan tersebut.



Namun demikian, 63% Muslim juga setuju jika pesantren atau ormas memiliki usaha pertambangan untuk meningkatkan kondisi ekonomi. Muslim yang terafiliasi NU adalah kelompok paling tidak setuju dengan konsep ini, dengan hanya 30% suara yang mendukung.



Terbelahnya sikap masyarakat dan Muslim di Indonesia seharusnya bisa diredam dengan sikap ‘tegak lurus’ ormas-ormas Islam mengamalkan ajaran yang mendukung pelestarian lingkungan.&nbsp;



Alih-alih terlibat dalam ‘industri kotor’ seperti pertambangan, Ormas keagamaan seharusnya aktif meningkatkan kesadaran masyarakat tentang transisi energi energi terbarukan yang saat ini <a href="https://celios.co.id/wp-content/uploads/2024/12/ID_Survei_Nasional_Opini_Publik_terkait_Just_Energy_Transition_Partnership_JETP_77b202b180.pdf">masih rendah</a>. Apalagi, mayoritas muslim Indonesia masih memaknai transisi energi <a href="https://theconversation.com/mayoritas-muslim-indonesia-salah-paham-tentang-transisi-energi-238092">secara sempit</a>, yakni sebatas pada penggunaan mobil listrik. Padahal, transisi energi mencakup aspek yang lebih luas, seperti mengurangi penggunaan energi fosil—termasuk batu bara dan pengembangan energi terbarukan.



Ketimbang terlibat dalam industri yang bertentangan dengan gerakan Green Islam, ormas Islam dapat lebih berperan dalam mendorong kebijakan yang mendukung energi bersih. Dengan jaringan pendidikan dan sosial yang luas, ormas Islam memiliki potensi besar dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya energi terbarukan dan dampak buruk eksploitasi batu bara.&nbsp;



NU, misalnya, telah menginisiasi program <a href="https://mosaic-indonesia.com/pesantren-hijau-upaya-menjaga-bumi-ala-santri">Pesantren Hijau</a> yang sudah dijalani 17 pesantren per Februari 2024. Program ini turut mendukung aksi iklim dan menyentuh ke banyak sektor, termasuk konservasi air, konservasi energi, hingga penggunaan energi terbarukan. Alih-alih berfokus mengelola tambang, NU dapat mendayagunakan sumber dayanya yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menggenjot program ini.



Sikap konsisten dalam memperjuangkan lingkungan tidak hanya akan memperkuat posisi moral mereka, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi umat dan generasi mendatang. Konsistensi terhadap nilai-nilai Islam yang mengedepankan keseimbangan ekologi akan jauh lebih bernilai daripada keuntungan ekonomi jangka pendek dari industri pertambangan.



Editor: Robby Irfany Maqoma

Apakah Ormas Penerima Konsesi Tambang masih Sejalan dengan Green Islam?

View this post on Instagram A post shared by Transisi Energi Berkeadilan (@transisienergiberkeadilan)

TEB.id: Kolaborasi untuk Transisi Energi Berkeadilan

Tentang Transisi Energi Berkeadilan

Berita

Setali Tiga Uang Pemerintah dan Swasta: Berat Hati Danai Mitigasi Iklim